Thursday, November 13, 2008

Between ‘mak jegagik’ and ‘mak bedunduk’ - Need no subhead

Dua kosa kata Jawa yang sangat ekspresif.
‘Mak jegagik’ dan ‘mak bedunduk’ sebenarnya mempunyai nilai keterkejutan yang nyaris sama. Yang membedakan hanyalah dimensi ruang di sekitarnya.
‘Mak jegagik’ adalah keterkejutan sesaat ketika berhadapan dengan obyek lain secara sontak dan frontal, dan keterkejutan tersebut berpihak pada subyeknya.
‘Mak Jegagik’ mempunyai efek turunan yang bernama ‘mak tratap’, yaitu kejadian yang membuat jantung dienjot-enjot sepersekian detik sebelum dilepas ke kondisi normal.

Sementara pada ‘mak bedunduk', obyek dengan cepat berubah menjadi subyek yang mempunyai kontrol penuh terhadap penampilannya yang mendadak. Dia mampu mengatur speed dan appearance. Mau dissolve, slow motion atau fade in terserah dia.
Kehadirannya bisa seperti hantu yang tau-tau nongol sosoknya di tempat yang dia kehendaki…. mak bedunduuuuuuuuuuuuk.

Dan inilah produk ‘in between’ versi kami.


Sebuah proyek kolaborasi yang tidak terlalu mengejutkan, tetapi juga tidaaaak terlalu bisa diprediksi pemunculannya.
Kolaborasi tiga profesi yang dijungkirbalikkan dari fungsi-fungsi normalnya.
Film Director yang biasa ‘dealing’ dengan motion picture, kok ya menghentikan gambar-gambarnya menjadi foto.
Creative Director yang ‘dituduh’ art based (visual based kali ya…), kok ya mendadak menjadi penulis.
Dan ini yang aneh, Pengusaha Restoran kok ya ngedisain grafis. Disainnya maut pula…

Proyek kolaborasi yang mengandung titik dua (:)
80% nekat
20% narsis (okelah, aktualisasi diri)
1% magic
Lhoh, jadinya 101% dong?!
Emang kenapa?

Inilah proyek kolaborasi selama 1.5 tahun yang membuat saya menemukan orang-orang yang mempunyai passion di dunianya, di lapisan layar yang paling belakang dari sebuah panggung pementasan.
Proyek kolaborasi yang membawa saya menonton Bedhaya Dhirada Meta ke Teater Salihara untuk merasakan aura magis yang luar biasa.
Proyek kolaborasi yang membuat para tetua yang saya hormati berkenan datang ke Palalada Grand Indonesia.
Proyek Kolaborasi membuat Oom Sonny Soeng rela menutup kafenya di malam minggu semata-mata untuk merilis proyek ini ke komunitas yang amat menyenangkan di Bandung.

Proyek kolaborasi yang munculnya mak bedunduk…dan bergerak diam-diam seperti setan.

I wouldn't end my steps at this point anyway. Not before I could describe the color of fresh water - (page 08)

Saya bahagia. Belilah! Belilah!

Tuesday, October 21, 2008

Chicken on nett – sit back, sip back, enjoy the show

Masih inget billboard besar menjelang masuk kota (atau kabupaten?) Pattaya yang dibuat oleh network agency setempat beberapa tahun lalu?

Welcome to Adfest. We hope you lose

Dari atas bus, minibus taksi atau taksi Mercedes yang membawa kontingen Adfest dari Swarnabhumi , billboard itu mengundang senyum.
Dan mendadak begitu sampai di jalan itu terasa ‘klik’ perbauran aura kompetisi, party, meeting dan sekaligus pelarian diri dari kantor.

Pattayaaaaaa here I am again….
(dibayarin kantor maksudnya)

Beberapa minggu lagi kita akan merasai aura yang kurang lebih sama di Jakarta. Melihat iklan bagus-bagus setahun sekali, mengerutkan dahi di seminar berbahasa Inggris, haha-hihi tukeran kartu nama dan keplok-keplok di seputar panggung. Rutin dan nyaris repetitive.

Bedanya, di sini bisa post party sambil memandangi perolehan trophy yang bagus sekali disainnya itu sambil menodong para MD, GM untuk membayar bill minuman berbotol-botol.

Minggu lalu saya tanya beberapa teman dekat saya dengan 1 pertanyaan klasik : “Ngirim entry banyak nggak?”

Jawabnya ternyata bermacam-macam :
1. “Nggak ngirim, nggak mampu bayar”
2. “Dikiiiit, ngelayani klien mulu, nggak sempet ‘main-main’ dengan inisiatif ad”
3. “Embuh. Aku pitching tiap hari nggak sempet pulang, boro-boro mikirin entry”
4. “Ngirim lebih banyak dari tahun kemarin meskipun kayaknya tahun ini agency si Anu masih merajai, at least dapet colongan lah” (hmm..panjang sekali jawabannya)
5. “Yang konvensional dikit, gue banyakin yang digital media”
6. “Tahun ini males maassss….”

Saya yang tahun ini tidak mengirim entry (dan tahun lalu diblokir secara internal…sukurin gak dapet apa-apa!), jawaban-jawaban tadi menunjukkan variasi situasi yang khas terjadi saat ini di industri.

Pertama, entry fee yang dirasa mahal. Buat teman-teman freelancer atau team kreatif yang dicuekin majikannya akan terasa sekali uang yang harus dikeluarkan (seperti kita bayar sendiri fiscal untuk liburan keluarga, dibanding kalau dibayarin PH atau kantor saat kita post pro atau meeting ke luar. Ditambah uang per diem lagi…)

Fenomena lain adalah dikotomi abadi bahwa award forum adalah forum iklan-iklan inisiatif yang nirlaba. Bukan iklan sehari-hari yang di push secara maksimal menjadi berkilat dan layak disebut sebagai ‘entry’. Hemm... Heeemmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm ......

Gejala lain adalah malas, atau ... eh kok tau-tau udah September ya, kita belum punya tabungan entry. Ini adalah fenomena ketidak-konsistenan untuk menghasilkan output berstandard ‘nggak malu-maluin’.
Excusenya adalah : masih manusiawi kok.

Berikutnya…Pitching. Momok baru yang menguras segala-galanya hingga kering, dan lebih kering lagi kalau pengumuman pemenang pitching adalah : TIDAK ADA, wong pengundang pitch cuma window shopping kok.
Mau window shopping atau window kaing-kaing, yang jelas alokasi waktu, tenaga dan pikiran kadung ‘all-out’ didedikasikan demi kenaikan billing.
Mister Entry untuk bulan depan nggak sempet dipikin. Salahin manajemen ajalah, gampang.

Yang menarik adalah tumbuhnya kesadaran akan media-media baru dengan pendekatan baru. Nggak percuma dikirim ikutan Seminar APMF ke Bali segala macam (problem utama setelah ikutan seminar adalah tidak pernah diimplementasikan bukan?). Ini strategi menarik untuk mengirim entry yang berpeluang besar.
Mengirim entry toh bukan semata-mata mengikuti kategori yang ada, terus minta uang ke Finance yang sebulan baru dijanjikan keluar.
Janganlah mengirim ke kategori yang diprediksi dipenuhi oleh entries agency lain, alokasikan ke media baru toh orang Finance juga nggak tau untuk apa duitnya.
Taunya : “Duit meluluuuu…piroooo?” Hahahahahaaaa… giliran dapet new business, meneng wae. Setidaknya inilah yang mewakili pikiran sebagian team kreatif.

Terlepas dari segala macam ‘alesan lu’ tadi, forum yang beberapa minggu ke depan kita ikuti bersama pastilah menarik. Jauh lebih menarik dari keseragaman status YM para BlackBerriers ‘Kill the chicken in you’ - yang notabene para pengurus event yang sibuk- belakangan ini untuk menengok YouTube.

Ayolah para chicken, get killed lah … and pay the entry on nett. We hope you all win, haa…

Tuesday, September 23, 2008

LEARNING BY DO WHAT – IMIGRANT SONG BY LED ZEPPELIN

Ya mari kita nonton TV.
Di National Geographic lagi ada perjalanan ‘Long Way Down’ nya Ewan McGregor dan Charley Boorman yang seru dengan motor BMW menyusuri London - Capetown.
Nah, di TV lokal juga tidak kalah serunya, ‘The Liputan Mudik’ hampir di semua stasiun televisi kita.

Selalu saja menarik dan saya sering sekali mengalami sendiri, menyusuri Sumedang-Kuningan-Purwokerto hingga Yogya menjelang tengah malam.
Sampai hafal liku-liku tikungan dan bagian jalan yang berlubang.
Menariknya lagi karena kita semua tahu bahwa menjelang Lebaran pasti butuh jalan yang lebar dan layak dilintasi, tetapi selalu saja jalan baru dipersiapkan dua bulan sebelumnya.
Padahal mudik adalah ritual tahunan yang penuh drama dan foto-fotoan (mulai nggak jelas nih!).


Dua puluh tahun lalu ketika saya berangkat ke Jakarta sebagai kaum urban dengan koper besar mengadu nasib di sini, setiap tahun pula saya selalu pulang melewati jalur mudik dengan segala macam versi jalan alternatif, jalan tikus sampai jalan kecoa. Nggak perlu GPS karena kalau kesasar justru di situlah dramanya.
Terjebak dan menginap di jalan hampir semua imigran pernah mengalaminya.
Dibelokin polisi berpuluh kilo jauhnya, hampir semua ‘orang Jawa’ merasakannya

Tahun ini karena saya nggak mudik, ya sudah mari nonton liputannya.

Berikut salah satunya, reportase dari dalam bis antar kota non AC yang berdesakan dan pengap.
Mbak Penyiar (MP) :
“Pemirsa saat ini kami berada di dalam bus yang akan membawa para pemudik ke kampung halamannya….Ibu, mau mudik ya Bu?”

Ibu Pemudik (IP) :
“Iya ke Sragen”
(MP) : “Kok naik bis begini Bu? Berdesak-desakan, apa nggak capek Bu?”
(IB) : “Ya capek lah mbak…”
(MP) : “Lama ya Bu perjalanan ke Sragen?”
Si Ibu diam saja, dan saya setuju lebih baik dia diam saja!

Oalah mbak… kalau si ibu itu mampu mencater bus sendiri pasti dia nggak naik bus pengap. Yo wis ben.
Mungkin si mbak penyiar itu dari Ostrali sehingga nggak tau sejauh mana Sragen itu dari Jakarta.

Pindah ke stasiun TV yang lain. Kali ini wawancaranya di kolong jembatan. Si mbak penyiar (penyiar apa penyair sih?) menanyai beberapa ibu tuna wisma dengan serenteng anak-anaknya yang berlarian kesana-kemari.
(MP) : “Kami berada di bawah jembatan layang di mana banyak sekali kami jumpai warga Jakarta yang tidak bisa mudik karena beban hidup yang begitu berat di Ibukota …Selamat siang Bu, kok ibu disini, nggak pengin mudik ya Bu?”
IBJ (Ibu Bawah jembatan) : “Ya pengin mbak”
(MP) : “Trus kenapa nggak mudik Bu?”
(IBJ) : “Nggak ada ongkos…”
(MP) : “Ini anaknya Bu? Kok nggak ditaruh di rumah saja, kan berdebu di sini?”

Rumah nyang mane, whoee…?
Ini lebih lucu lagi.
Kali ini yang ditanya anak-anak kolong yang dekil, entah anak si ibu itu beneran atau anak sewaan.

(MP) : “Adik-adik, kok main di pinggir jalan, nggak bahaya ya? Kok nggak sekolah?”

Oalah mbak… Emploken wis.

Entah kuliah jurnalistik di mana si mbak dengan pertanyaan yang seperti itu. Kok rasanya seperti copywriter menulis headline yang redundant trus minta di approved sama CDnya.

Dan jangan lupa, pertanyaan-pertanyaan itu berulang setiap tahun, sejak (setau saya) dua puluh tahun yang lalu, seperti halnya persiapan jalan mudik yang tidak pernah belajar dari pengalaman bertahun-tahun.

Oalah…nasib kaum urban...
Mari nonton Ewan McGregor naik motor di Afika saja. Minggu ini dia sudah masuk kawasan Sudan.

Wassalam.

Wednesday, August 27, 2008

OH, IT’S NOT DURIAN SEASON - Late night latte

Belakangan saya agak sering dimintai tolong teman-teman untuk nyariin orang.

Bukan!
Saya bukan detektif swasta. Teman-teman mau merekrut anggota team yang punya kompetensi pas. Mulai dari Graphic Designer, Art director, Writer, AE, Account Director… kenapa gak cari Owner sekalian yak… atau Manager Owner? :P
Trus kompetensi saya apa ya kok dimintai tolong nyari paket-paket ini?
Sempat terpikir, apa saya jadi head hunter swasta aja apa ya…? Side job jadi head hunter lucu kali ya… tapi ntar dipecat? Nggak ah, saya nggak punya proteksi hukum. Nggak kayak ‘The Predator’ yang bisa membunglonkan diri.
Ya saya senang-senang aja membantu teman-teman mencari ‘paket’ itu.
At least suatu ketika kalau saya butuh udah tau networknya.
Lagian kayaknya lagi musim pertukaran pemain nih. Turn over lagi tinggi.




Musim yang lain yang saya perhatikan adalah musim GM (bukan mie).
Perhatiin deh, di kantor si anu diangkat GM baru. Trus GM-GMan ini merembet kantor-kantor lain. Banyak kartu nama baru, posisi baru, mobil-mobil baru dan paket-paket unduhan baru.
Masalah kompetensi?
Karena saya batal jadi head hunter, ya mana saya tahu?
Kalau musim duren sih saya tahu mana yang bagus mana yang enggak. Mana montong, mana lokal, mana manis mana pahit, mana mahal mana murah. Lha kalau GM kan mahal murahnya bisa meniru ‘The Predator’ yang membunglon tadi. Maksudnya ambil paket mahal, pas diuji coba kompetensinya me-mimikri-kan diri. Gitu deh.
Sempet ketemu teman lama dan saya sempat tanya : “Kabarnya si Nganu gimana sebagai GM, bisa?” Pertanyaan saya sebenarnya tanpa tendensi apa-apa, eh lha kok dijawab : “Oh dia mah bisanya hihihi…” Lhoh gimana sih? Masak di kartu namanya ditulis “Nganu Hihihi”?

Musim yang lain lagi adalah menulis buku. Bukan lomba lhoh, musim.
Beberapa teman mendorong saya untuk nulis buku. Hah, buku apa? Nulis blog aja males kok.
“Nulislah buku advertising”
Oh noooo……!
Saya nggak kompeten.
o/o : “Trus kamu mau ngapain?”
x/x : “Nggg…apa ya…berkesenian mungkin” saya memberanikan diri.
o/o :”Melukis?”
x/x :”I wish!”

Lalu saya jelasin kalau saya menulis essay untuk buku foto teman saya dalam bahasa Inggris.
o/o :”Wueedan!! Keminggris!”
x/x :"Ya..paling enggak do something lah"

Saya menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan berbahasa saya jauh dari sempurna, apalagi bahasa asing.
Lha tapi piye? Wong jadi GM aja pada berani kok, mosok nulis aja nggak berani.
Tetep saya nggak pede nulis coro Enggris.
Tapi jadi GM kan nggak harus ngerti manajemen.
Nulislah mas…ayo…ayo.

Walhasil, saya minta tolong teman untuk mengkoreksi grammar saya. Tapi
awas ya, jangan ngrubah ekspresi. Teman saya menyanggupi dan meyakinkan bahwa untuk ekspresi seni, bahasa tulis nggak harus benar grammarnya. Paulo Coelho itu apa ngikutin tata bahasa?
Saya agak tenang.

Jadilah proof print yang disain grafisnya dikerjakan dengan penuh gusto. Senang bukan main, tapi sewaktu saya baca ulang, kok kayaknya banyak yang salah deh grammarnya.
o/o : “Ini sudah diedit oleh dua orang Mas, tenang aja”
Saya agak tenang.
Tapi bagi saya, bahasa Inggris adalah kira-kira. Enake ngene, raenake ngono, gitu lho!

Jadi, sekarang saya lagi nunggu buku itu naik cetak. Perlu lah naik cetak sebelum naik jadi GM (hus!) atau naik-naikan lain.

Jadi, sekarang saya ikut musim.
Ada yang mau duren?

Tuesday, June 24, 2008

Service Oriented vs Survival Oriented - Cappuccino Plus Plus

Lebih seneng mana? Bayar tukang parkir jalanan 2 ribu tanpa balasan terimakasih, atau lagi jalan di mal trus dikejer-kejer SPG kartu kredit?

Atau gini deh, berapa kali dalam seminggu kita melihat penjaga gerbang tol tersenyum? Hayooo…..
Yang jelas beberapa kali saya baca di ‘Redaksi Yth’ para corporate pi-ar berusaha menjelaskan ke publik dengan menanggapi keluhan konsumen mereka yang diposting di ‘Redaksi Yth’ edisi sebelumnya.
Intinya isinya : “We are apologizing for this/that/those inconvenience”

Di pompa bensin Pertamina (yang baru diberlakukan setelah dapet saingan…ealaaah) sekarang ada tulisan hotline pengaduan gede-gede dan jelas-jelas di badan pompa bensinnya
Konsumen berhak mendapatkan 3 S : Senyum. Sapa dan Service (lhoh bahasanya kok campur-campur?). Lupa saya S yang ketiga. Sarapan? :P
Sementara di Shell dan Petronas lebih riil dengan memandikan kaca depan.

Service Oriented.
Atau kata Tizar : Serpis orienteit.

Bulan lalu saya ke bengkel Mitsubishi karena mendapatkan tetesan oli di lantai garasi. Padahal seminggu sebelumnya saya habis tune-up di bengkel itu. Saya jelskan ke kepala mekanik bahwa mungkin ada packing yang bocor. Tolong dicek semua yah…yah…yah…?
Setelah satu setengah jam mobil saya selesai dan si Mas Kepala Mekanik (pakai huruf kapital karena nama jabatan) bilang :
o/o : “Sudah selesai pak, dibawa aja”
x/x : “Lhoh? Gak bayar?” (tumben)
o/o : “Iya pak, mohon maaf. Minggu lalu waktu bongkar packing, montirnya salah pasang gasket baru, jadi melintir dan pecah sehingga olinya nyemprot keluar”

Baiklah saya maafkan selama diganti baru lagi.
Senengnya kalau semua bisnis layanan mengutamakan kepuasan konsumen.
Itu juga yang mungkin dilakukan di bak truk yang melaju di tol Kebon Jeruk beberapa waktu lalu. Iya kali ya?
Disana ada tulisan :
“Bila sopir ugal-ugalan, telpon simbok di kampung”

Superb!

Thursday, April 17, 2008

Middle Man - Between pure black and blended

Ini bukan tentang makelar perantara yang memotivasi dirinya dengan besaran komisi yang bakal diperoleh. Ini cerita tentang posisi tanggung yang kalau nggak kuat bisa bikin mutung.

Thomas Shultze adalah Regional Executive Creative Director di Hong Kong (hi Thomas...) yang dikirim ke Jakarta karena kena sikut politis seorang Regional Account Diector. Sikutnya sangat tajam dan mulutnya konon sangat berbisa untuk orang seganteng Antonio Banderas.
Maka datanglah Thomas dengan ikhlas ke Jakarta untuk memimpin departemen kreatif di network (tiiiiiiiiiiit.......) itu.
Kebetulan saya mengenal dia beberapa tahun lebih dulu daripada teman-teman yang lain di tim saya.
Tapi rupanya perbedaan kultur tidak membawanya bisa diterima dengan mulus. Karakter Jermannya begitu kuat untuk mendikte kesana-kemari, me-reject dengan membabi buta berbekal post power syndrome dari regional head quarter ke kantor daerah seperti Jakarta ini. Mungkin seperti orang-orang agency Jakarta yang roadshow ke Yogya, Semarang atau Surabaya yang cenderung kemlinthi petentang-petenteng nggak karuan.
Huh!

Nah, adalah seorang art director di tim saya - Jeffry - (hi Jeff...) yang merasa di abused ketika Thomas me-reject layout yang di review di forum internal.
Merah padamlah muka art director saya ini, dan sambil berdiri dia berkata : “Hi Thomas, can you proof me that you are better than me?”

Mati aku!

Adalah saya, yang mengepalai group Jeffry dan dibawahi Thomas terbengong-bengong melihat drama tersebut. Seorang Regional ECD Asia-Pacific ditantang oleh seorang art director kantor cabang - dan kok ya itu anggota tim saya.

Saya yakin Thomas sebagai orang yang sudah malang melintang disembah-sembah bisa melihat ‘the bigger picture’ dari topik yang dia review.
Di sisi lain saya juga yakin bahwa Jeffry begitu terpuruknya dengan penolakan semena-mena terhadap ‘ide besarnya’.
Nah bener kan... Thomas memanggil saya menanyakan ‘kenapa kecelakaan itu’ terjadi.
Jenis-jenis pertanyaan “Who’s the hell... ” bertebaran di depan saya.
Saya cuma bisa bilang : “Thomas, kowe ki mbok ojo mbagusi neng kene. Mbok ndeleng-ndeleng sik nek arep prentah, mengko nek kowe diclurit uwong lagi kapok kowe...”
Satu tahun kemudian Thomas dideportasi dengan vonis : tidak bisa bekerjasama dengan tim kreatif.

Episode kedua terjadi ketika seorang bule muda, Simon Beaumont (hi Simon...) menggantikan Thomas Shultze dan saya menjadi associate nya. Seperti biasa dia pengin lihat konfigurasi tim yang ada seperti apa. Semua oke-oke saja kecuali fungsi saya sebagai associatenya.

Asu tenan!

Pada tahun krisis financial, pak petinggi agency memutuskan untuk memberhentikan 15 karyawan - 8 diantaranya dari departemen kreatif.
Pak GM memanggil untuk ‘menemani’ mengeksekusi teman-teman saya sendiri.
o/o : “Kok bukan Simon, pak?”
x/x : “Simon kurang kredibel. Dengan gayanya yang tiap hari angkat kaki ke meja begitu bisa dikeroyok nanti”
Satu persatu di panggil untuk ‘diselesaikan sampai di sini’. Ada yang isitrinya lagi hamil tua, ada yang kredit rumahnya baru mulai, ada yang anaknya baru masuk TK. Semua harus di lay off.
Seminggu saya tidak bisa tidur nyenyak kepikiran terus apa yang menimpa teman-teman saya di depan saya dan pak GM.
Dan Simon? Cuti ke Bali deh kayaknya...
Apes lagi!

Tapi ya mungkin begitulah nasib Associate.

Posisi associate adalah bola tanggung yang di tendangkan kesana-kemari.
Dia punya bawahan yang bisa diperintah tetapi juga punya boss yang tidak bisa dilangkahi.
Dia boleh mengusulkan tetapi tidak bisa mengambil keputusan final.
Dia duduk di kursi direktur dengan catatan pada posisi wannabe.
Dia
Dia secara politis aman karena punya bumper ke luar tetapi dia harus menjadi bumper ke dalam.
Dia boleh naik mobil atasannya, tetapi harus rela jika sekonyong-konyong diturunkan di jalan.
Dia bisa melihat obyek ke depan, tetapi selalu terhalang pepohonan.

Tetapi...
Nanti kalau sudah berhasil ke jenjang posisi berikutnya dia bisa bilang kepada bawahannya : “Jangan cengeng, kalau cuma begitu aku pernah mengalami yang lebih buruk”

Posisi Associate adalah era pendewasaan. yang sering penuh kepahitan, serba tanggung, geregetan dan ketidak nyamanan.

Untung saya hanya mengalami setahun.
(Pantesan nggak pernah dewasa...)

Thursday, April 03, 2008

“Bad marketing wish - Too much coffee will kill you (Queen)”

Saya pernah di cap ‘anti marketing’ di sebuah milis.
Entah apa maksudnya, apakah agency tempat saya bekerja dulu begitu dilihat sebagai 'main competitor' agency dia, atau karena saya pernah menganut ‘faham award driven’ di agency sebelumnya yang membuat yang bersangkutan begitu sinisnya dengan ‘drive’ tersebut.

Saya pikir, bagaimana mungkin saya bisa ‘anti marketing’ sementara saya bekerja di industri advertising seperti ini. Darimana saya bisa mendapat gaji kalau bukan income dari para marketer di pihak klien.
Aneh. Ah tapi sudahlah, saya berusaha melupakan ‘tuduhan’ itu dengan bekerja sebaik-baiknya.

Belakangan saya ngobrol sama Glenn Marsalim (dedengkot freelancer itu) di YM.

GM : “Aku lagi pusing nih, bantuin agency2 kok sekarang nggak proper ya kerjanya. Serabutan sekali. Kalau aku jadi klien liat kerjaan agency gitu juga gak respek. Tapi mirisnya, orag agency nya ngerasa udah luar biasa kerjanya”
GS : “Emang sih terasa ada peralihan pola agency, kinerja, sumber daya manusia dsb”
GM : “Jadi kesannya tuh ‘asal’ gitu loh.... Aku juga ngerasa kalau jadi klien juga makin gak percaya dan respek sama agency selonte lontenya aku, aku tetep ngerasa kita mesti coba kasih saran yang menurut kita terbaiknya gimana kalau udah mentok tok tok baru deh nyabo, tapi kalau sekarang tuh belum apa apa dah nyabo”
GS : “Itu dia... gak ada yang mendidik market dalam komunikasi jadinya, klien nganggep begitulah agency, makanya fee nya bisa di abuse. Output yang kita liat setiap hari di media ya seperti itu. Oooo....itulah iklan”
GM : “Emang siiih.... klien juga makin hari makin pelik ya keadaannya berasa lah dari brief mereka juga makin hari makin pelik. Agency juga mesti lebih lentur dalam menyikapinya, tapi sekarang kalau agency dianggap third party atau diremehin klien, gak boleh sakit hati kan
GS : “Terrlanjur gitu... sebenernya disini fungsi organisasi untuk men...... tiiiiiiittttttttttttttt

(disconnected)


GM : “Aku sih ya gak mikirin organisasi sama sekali
GS : “Kamu gak mikirin tapi ini udah jadi virus industri, kondisinya gak ada yang ngobatin. Suatu hari kalau aku bisa keluar dari advertising dan hidup mapan dari sumber lain (amin!), aku pengin nulis buku kumpulan kejadian2 di bisnis advertising :"Advertising is not Everything". Kamu mau jadi editorku?
GM : “Mau... hehehehehe, tapi aku belum selesai dengan kekesalanku ini kok kamu dah ganti topik kayak orang iklan deh
GS : “Ya beginilah caraku kompensasi. Topiknya struktural soalnya, penyakit inti sel
GM : “Aku bilang sih secara sederhana orang orang iklannya aja yang ngaco. Masalahnya jangan ngomong mendidik lah emang siapa lebih pinter dari siapa. Agency juga gak lebih pinter dari siapa siapa
GS : “Bukan masalah pinteran siapa tapi agency musti bisa duduk semeja dengan klien
GM : “Untuk bisa kerjasama kan mesti saling ngerti toh? Nah seberapa banyak agency mau ngertiin klien lah
GS : “Mari kita tutup dengan mengucapkan : Begitulah
GM : BEGITULAH


Jebakan.
Jebakan yang juga saya rasakan dalam mendevelop team kreatif. Prioritas antara memahami brand, memahami konsumen, memahami kompetisi, memahami market, memahami media dan menjadikannya fokus sebagai output, jadi terjungkir balik dan tidak akan pernah lengkap tanpa pemahaman yang komprehensif terhadap bisnis klien.

Pemahaman yang terakhir ini menurut saya musti dibalik menjadi yang pertama. Dan ini bukan hal gampang untuk ditanamkan di seluruh denyut nadi semua anggota team. Dan kalau mereka nggak ngerti-ngerti, itu salah saya juga.
Jebakan batman yang mempersempit angle anggota team, sehingga output kreatif nya keukeuh sumeukeuh idealis atau yang seperti Glenn bilang : nyabo onanis.

Terus, hubungannya dengan judul di atas?
Ooooh.... itu?
Itu adalah tentang kavling di depan rumah saya yang belum laku2 dan saya doakan tidak pernah laku biar tidak menghalangi angin ke rumah saya dan seolah-olah saya punya halaman depan yang luaaaaas.....
Anti marketing?
Ya ndak lah, buktinya saya tidak mencabuti papan nama para broker kayak LJ.Hooker (ini nama kok ya hooker to yaaa...?)dan kawan-kawannya.

Kan berusaha memahami bisnis klien, hihihihi.....

** Transkrip dialog YM di upload atas seijin Glenn

Monday, March 31, 2008

“The Gudeg and the Cong” - Over boiled local Toebroek”

Tadinya saya pengin beri judul postingan ini sekeren : ‘Thief and The Cobbler’ (ingat film animasi absurd tahun 80an?), atau ‘Starsky and Hatch’, atau ‘The King and I’, eh jadinya kok ya gudeg juga.
Bodo ah.

Seminggu setelah Imlek saya sms si Fung : ‘Cap go meh’.
Dia jawab :
o/o: “Wah shio Tikus cong nya berat tahun ini”
x/x : “Ha? apa itu cong? (moncong? congor?) Aku shionya Tikus...”
o/o: “Kesehatan dan keberuntungan. Musti banyak-banyak berdoa dan menjaga kesehatan dengan benar. Kalau di klenteng ada ritual khusus untuk menolak bala”
x/x : “Oooo ...(=melongo).
Di hari lain Glenn bilang melalui YM nya.
*/* : “Banyak-banyaklah sedekah”
(saya lantas ingat persembahan bulanan yang belum saya kumpulkan)

Kehidupan berjalan rada tidak biasa sampai datangnya lemas-lemas, mual dan anget-anget nggak jelas.
Tusuk jarum dan moksa tidak mempan dan hanya menunda datangnya demam di hari berikutnya.
Not now! Lusa ada pitching.

Confession to dr.Jacob.
Adalah seorang dokter Jacob, general practitioner yang senior. Dari cara memegang pasien saya tahu dia setingkat dokter Broto dari Angkatan Laut itu.
Dan diagnosanya bisa diandalkan tentunya.
x/x : “Dok, saya pernah bed rest tujuh tahun lalu karena gangguan fungsi hati, trus beberapa bulan lalu karena kristal di ureter saya. Apakah ini akan terulang Dok?”
+/+ : “Tidak ada salahnya nanti setelah demamnya turun check darah ke lab. Ini saya deteksi ada radang di tenggorokan”
Anti biotik yang sebisa mungkin saya hindari, kali ini tidak bisa dielakkan.
Pitching bisa ditebar dengan pesona maksimal.
Thank God.
Malamnya muntah tanpa keluar apa-apa.

Kyle Kwong is no longer interesting.
Antibiotik dokter Jacob bikin teler seteler-telernya (mengingatkan saya akan tagline es teler di Yogya dulu : Memasyarakatkan es teler dan menelerkan masyarakat.)
Kepala tidak pernah tegak, badan lemes aneh (istilah teman saya : kurang jelas maksudnya :P)
Mual dan lucunya, sampai nonton acara kulinernye Kyle Kwong dan Anthony Bourdain saya eneg melihat makanannya. Apakah TV sekarang sedemikian interaktifnya sampai makanan yang di broadcast bisa bikin mual penontonnya? Heran.
Anehnya, pengin banget rasanya bisa makan gudeg saat itu.
Terbayang nasi panas dengan gudeg sambel krecek, tahu yang kenyal-kenyal gempi, telur pindang yang coklat kehitaman (M74, Y72, C57, K79) serta dada ayam dengan areh yang menggiurkan (yang menuruh istilah pak Umar Kayam almarhum : ‘mlekoh’) terus disuwir-suwir. Huaaaaaaaaaaaaaaaa............
x/x : “Aku tak mereparasi tubuhku dulu ya, daripada masuk trus kayak kemarin mual lagi”
Teman-teman saya di kantor pasrah.
Atau tepatnya hopeless.

Back to square one.
Body saya tidak mampu menyerap antibiotik dan obat mual yang bikin hoek.
Internist andalan saya dr. Azwar saya datangi siang-siang (padahal dapet nomernya pagi-pagi).
Sekujur perut rasanya kram.
Seperti Abraracourcix yang melolong ketika perutnya kejatuhan daun sewaktu sakit maag, begitulah saya saat dokter Azwar memegang ulu hati saya.
+/+ : “Obat ini terlalu kuat untuk lambung, saya ganti ya. Yang antibiotik dihabisin saja”
(keluh)
o/o : “Bukan gangguan fungsi hati dok?”
+/+ : “Rasanya bukan. Bapak sedang stress?”
(keluh)
Dua hari tidak ada tanda perubahan signifikan.

Yellow spot.
Jumat malam 18.25-18.30 (emang perang Diponegoro?) sampailah saya di UGD yang sedang berisik. Hemmm...dokter jaganya gak detail, kecuali :
+/+ : “Mata Bapak kuning sekali, sebaiknya dirawat dan temperaturnya 38,6. Sebaiknya segera cari kamar”
Mau saya memang dirawat, tapi cari kamar di sini?
Sewaktu masih jadi salah satu direktur perusahaan besar (perusahaannya yang besar, gaji mah segitu-gitu aja), ini gak jadi masalah. Saya bisa langsung ke VIP.
Tapi sebagai saya sekarang, pemegang saham Sharp Knees Capital & Co (maksudnya Perusahaan Modal Dengkul Tajam, gitu lhoh) saya musti berhitung.
Kelas satu aja, yang satu ruang berdua. Lebih murah pastinya.
Cilaka, penuh!

The Doctor’s speaking.
+/+ : “Hasil test darah, urine dan feces menunjukkan ini positif Hepatitis A. SGOT nya tinggi sekali pak, normalnya 35 ini 1700. Tapi biasanya kalau matanya kuning demamnya berhenti. Jadi kita tunggu test susulan...”
(suster datang dengan lab report terbaru)
+/+ : “Oh ini dia. Typhusnya positif”
Jam 12 malam si kakak dibangunin untuk menandatangani konsekwensi treatment antibiotic yang akan digelontorkan lewat infus kedua, yang biayanya (itu yang dimintakan kesepakatan) huhuhuuuuuu......
Ya udah ditandatangani aja.
Seraaaaaah deh.
Malam itu tergeletak pasrah.
Jam 5.30 dibangunkan suster untuk mengganti sprei, ukur suhu, ukur tensi dan melap badan. Mana mungkin bisa tidur lagi.
Jam 6 pagi adalah momentum akbar untuk makan gudeg. Sambel krecek, tahu kenyal, telur pindang, ayam suwir-suwir dan.... pintu di ketok petugas gizi mengantar sarapan pagi : bubur putih polos dengan telur rebus !
Seraaaaaaaah deh.


Batman Begins
Hari ketiga dilepas mandi sendiri.
Begitu saya menikmati kucuran shower dengan mata terpejam, mendadak saya melihat lubang bersinar terang sekali dalam kegelapan retina saya. Seperti point of view Batman waktu kecil yang terjerumus dalam sumur melihat ke langit. Mulut gua atau mulut sumur dengan sinar turquoise kuat sekali.
Saya menikmati sinar itu karena memang bagus warnanya (art directed), dan kemudian ada sinar yang lebih kecil tapi tajam ditengah sinar turquoise tadi. Selama hampir 10 menit mata terpejam saya menikmati sinar berwarna itu. Komposisi hue, saturation, color balance dan segala teori Newton serta treatment Photoshop, adobe Light Room atau Aperture ada semua di situ.
(Ini ngomong apa ya?)
Dan ketika mata saya terbuka, lubang sinar tadi menabrak dinding keramik dengan reversed color menjadi bintik kuning yang besar.
Saya melihat spot kuning di dinding kamar mandi, terang...seterang sinar di lubang sumur Batman tadi. Saya mengedip-kedip dan yellow spot itu tidak hilang.

Harapan semu.
Jumat atau tepat seminggu dr. Azwar menghibur bahwa semua sudah baik, sudah oye, tinggal besok pagi sekali lagi ambil darah untuk di check. kalau sudah baik siang bisa pulang.
+/+ : “Tapi bukannya orang Jawa tabu ya pulang hari Sabtu?”
Dokter ini orang Padang, dan saya yang Jawa malah nggak tau masalah itu.
Sabtu dini hari saya siap diambil darah.
Sorenya si pak dokter melemaskan harapan.
+/+ : “Typhusnya belum hilang. SGOT dan SGPT sudah turun drastis. Bilirubin 1.5 9mustinya 1) tapi Gamma GT kok naik ini. Jadi jangan pulangnya besok aja dengan syarat di rumah musti istirahat dan diet ketat. Jangan kerja dulu!”
(Terus, gimana saya bisa gajian?)
Orang Jawa memang nggak boleh pulang Sabtu.

Sampai hari ini keinginan makan gudeg dengan ayam suwir-suwir, tahu kenyal gempi, telur pindang kehitaman dan sambel goreng krecek serta nasi kemebul itu belum juga kesampaian.
Meskipun gudeg adalah makanan tanpa gizi (gimana bergizi wong enaknya dinikmati kalau sudah dipanasi 2 hari - tapi ya gitu deeh), gudeg memang tiada duanya.
Selamat makan bubur sagu. Ealaaah Cong...Cong!

Friday, February 22, 2008

“Brand personality. What personality? Say again?” - Latte or decaf?

Ini kenapa sih ya dari tadi sepanjang jalan tol disalip, dipepet, nyaris disrempet... awas kalau dibaret (rhyming...:P)
Lagian masih jam 8.00 pagi ngapain pada pecicilan, toh nanti end-up nya di gerbang tol (psst...di sanalah saya biasanya memotong para penyalip itu - strategi Schumacher di lap terakhir).

Beberapa bulan ini saya perhatikan tipe-tipe mobil yang suka bener menyalip, memepet dan nyaris menyerempet.Dan pelakunya kok ya tipe itu-itu juga, heran!

Biasanya saya nggak pernah rela disalip mobil yang powernya lebih kecil. Siapa elu, kan? Pokoknya asal di kaca spion terlihat mobil yang nggak mungkin menang dipacu ngelawan mobil andalan saya yang segitu-gitunya ini, gak bakal saya kasih jalan. Mau klakson, mau kasih sign, lampu kedip, atau nyemprot air bila perlu...no way. (“No way” artinya gak ada jalan kan?)
Atau kalau enggak saya giring ke kiri biar dia nyelip dari arah kiri trus kepentok mobil di jalur kiri, dan saya tetap berjaya leading the way.
Jahat sih.... but that’s the trick.

Oli saya aja Mobil-1 bukan Top-One yang iklannya kayak 'aduuuh' itu (ini kok banyak kata repetitifnya seh...)

Lain halnya kalau yang terlihat dari belakang adalah mobil2 Eropah, dengan hormat saya musti tau diri (selain pengin punya yang begituan juga sih. Huh, itu toh cuma produk. Kata bapak saya dulu “Iku mung perkoro kadonyan” - masalah duniawi. Nggih paaak...tetep aja saya pengin VW Toureq).
Nggak mugkin lah saya berpacu dengan mereka yang powernya berpuluh-puluh kuda.

Tapi ini lho....
Mobil cilik-cilik kemlinthi mlintar-mlintir sok aksi.

Berikut adalah ranking merek mobil (dari observasi beberapa bulan itu), yang bertingkah laku “keliru” di jalan tol:

1. Yang pertama, produk hasil kolaborasi Toyota dan Daihatsu. Ini bener-bener sok trengginas (saudaranya ‘trenggiling’) seolah-olah alergi kalau ada mobil di depannya. Posisi ini dulu diduduki oleh mobil keluarga keluaran Sunter.
2. Yang kedua mobil generik keluaran Honda, mereknya seperti nama jenis musik (mau ngomong Jazz aja mbulet). Entah kenapa ini kok ya sok gesit, wong cc-nya aja gak cukup buat bayar uang kuliah (konon banyak pengendaranya mahasiswa) kok pencilakan (maaf nggak ada padan katanya di i-Dictionary).
3. Yang ketiga, itu tadi mobil keluarga keluaran Sunter. Posisinya turun menjadi peringkat ke tiga setelah keluar model yang lebih alusan dan inovatif (bilang aja Innova !)

Top dah pokoknya.
Tapi belakangan kalau dipikir lagi, ngapain juga merespons mereka ya?
Saya malah lantas tertantang untuk mencoba mempelajari kira-kira seperti apa saja sih para pengemudinya?

Mobil yang pertama.
Okelah, mungkin itu mobil pertama (the first car) yang mereka miliki. Tanpa bermaksud negatif atau tidak sopan (sumpih, enggak!) saya bisa kok memahami excitement nyetir mobil pertama hasil jerih-payah dan kerja keras. Nyelip kanan kiri, di geber bahkan kalau bisa diputer kayak bianglala di Dufan, muter deh situ. It’s fun, it’s good for you. Go ahead.
Mobil ini punya personality : gesit hiperaktif (agak rhyming juga sih).

Mobil yang kedua.
Sedan gitu loh. Belinya indent pula, susah kan dapetinnya? It’s my own car, young generation. Energi meluap. Menyandang personality yang muda, yang dinamis (kayak slogan rokok jaman dulu). Dibeli dengan my own income, bangga dong! Dan kok ya irit dan enteng pula. Jadi kapan lagi digebernya? (Mas-mas, nitip pesen nggih...niku gampang ngglimpang lho mas...ati-ati mawon nggih).

Mobil yang ketiga.
Pengakuan yang sahih bahwa inilah mobil keluarga indonesia. Horeeee..... Jadi ya ngak bisa dong kalau ada anggota keluarga yang terlambat diantar atau dijemput... Ya harus ngebut dong ah. Kalau jebol toh murah spare part-nya. Monggooo...sak karepmu.
Impresi personality yang saya tangkap : bertanggung jawab.
Cieeee...... plok-plok-plok.


Agak terhibur juga saya bisa mereka-reka sebuah pemahaman tentang personality dan tingkah-meningkah, laku-melaku mobil-mobil itu.
Kayak kerja di advertising rasanya :P.
Tapi kenapa postingan ini gambarnya gak matching?
Art direction problem!
'Gak tak naikin gajinya lo...

Wednesday, January 30, 2008

“I wanna fish stew” - Does it match with espresso?

Kalau ditanya siapa orang yang paling kreatif di seantero dunia saat ini?
Siapa tokoh paling aspiratif saat ini?
Ingin seperti apa saya sebenarnya?

Jawaban saya bukan David Droga, Andy Greenaway, Suthisak Sucharittanonta, apalagi Neil French. No way!
Tokoh idola saya adalah Jamie Oliver, yang membuat saya menyesal kenapa dari kecil ibu saya merasa tabu mengajarkan anak laki-laki memasak.
Lihatlah Jamie, lewat culinary expertise menyatukan dunia lewat perut dengan style tertentu.
Lihatlah Jamie yang (istilah saya ‘making money in a fun way’) keliling dari negara ke negara lewat kendaraan kulinernya.

Bukan, bukan seperti tamasya kuliner di tivi-tivi lokal yang low quality itu.
Bukan seperti chef tivi Anu yang nggak pede dengan apa yang dia masak dan berusaha keras meyakinkan penonton bahwa sesungguhnya dia bisa masak. Sesungguhnya dia dibayar untuk pura-pura masak.
Bukan juga road shownya presenter kuliner lokal yang berusaha membuat style dan idiom tertentu dengan shooting ala kadarnya.
Bukan juga proposal bisnis media yang berusaha menarik brand untuk beriklan di slot kuliner atau acara masak memasak yang mengajarkan teknik menyayat ikan salmon secara keliru.

Jamie Oliver setara Anthony Bourdain dan Nigella Lawson.
Expert. Artist. Cook. Stylish. Taste.
Jamie punya kitchen di kebun belakang rumah.
Jamie punya kebun strawberry, selada dan paprika sendiri di ‘behind the stage’ nya.
Sementara di panggungnya yang sebenarnya Jamie dengan penuh gusto menyajikan resep yang selalu baru dan sarat ide (mari bandingkan dengan bisnis advertising) yang ‘straight forward’ menggugah selera penonton untuk bereaksi interaktif dengan apa yang dia visualkan.

Saya kagum Jamie karena simplicity nya, of course.
Terlebih dari itu, karena ide segarnya yang tidak pernah habis - yang dengan VW combi merangkap kitchennya keliling Italy, mampir ke biara membuatkan sarapan pagi dan menggelar menu sehat di pinggir jalan, mencegat semua orang yang mau makan pagi gratis.

Kemarin pagi bangun tidur saya terkaget-kaget melihat Jamie di TV.
Tukang masak ini ada di panggung live show, mengemas skill sedemikian hidup, menggabungkan musik, kuliner dan pemecahan rekor membuat adonan pasta terpanjang sambil tidak lupa mendemonstrasikan menu kreatifnya. Di layar lebar ada text lyric seperti karaoke : “ I wanna fish stew.....”
Jamie berjingkrak. meloncat bernyanyi, kembali ke belakang stove nya mengaduk fish stew. Penonton di studio sebesar studio Empat Mata (kok Empat Mata?) ikut bernyanyi “ I wanna fish stew....”
Dan alamak...anak itu bisa main drum mengikuti beat lagu. Penonton histeris.

Barangkali inilah brand advertising yang dikemas lebih wise.
Dan Jamie Oliver - si brand itu - menanam idenya di kebun belakang rumah untuk tumbuh dengan sendirinya tanpa menggantungkan keterlibatan David Droga maupun Neil French yang dipuja seperti dewa.