Monday, February 19, 2007

“Meneketehe” – chicken porridge on the rain

Entah siapa yang mengarang judul itu, yang jelas saya perlu sehari telmi untuk memahaminya.
Manakutahu?

Meneketehe ini juga yang tahun lalu bikin miss prediction.
Dua hari sebelumnya tetangga belakang rumah mengundang untuk datang makan malam merayakan Imlek.
Sebagai tetangga baru, wajar dong mempersiapkan diri.
Pokoknya harus datang proper, menghormati yang mengundang, menghargai pluralisme golongan-ras-agama-suku (GRAS).
Lagian, undangan ini pasti spesial, makan malam menjelang tahun baru Cina. Pasti interiornya merah dan emas-emas gitu. Lilin-lilin besar yang eksotis dikelilingi warna orange jeruk Mandarin dari tanah asalnya.
Dan fine dine dengan sup hisit, steam fish dan tender slices of Peking duck kayak Crystal Jade …..nguing…nguiiiing…
Prosperity Nite.



Maka seperti di film-film, terpilihlah sebotol wine terbaik untuk dibawa malam itu sowan tetangga belakang rumah, pakaian terpantas untuk dikenakan dan persiapan hati untuk ikut merayakan.

Lho kok?
Kok sofa-sofa di keluarin ke garasi bercampur bangku-bangku bakso di sela-sela speaker besar-besar? Padahal mendung lho Koh…
Lho kok tuan rumahnya pakai kaos oblong dan celana selutut? Ah pasti belum sempet mandi karena kesibukan.
Maka duduklah kami bersama tetangga lain termasuk Pak dan Bu RT di rumah itu, menghadap layar TV besar sambil mengunyah kacang atom.

Semakin malam, tidak ada tanda-tanda yang punya rumah berganti baju merah menyala yang sangat etnis itu.
Malahan menyodorkan album lagu-lagu karaoke sambil menyuruh pembantunya mengeluarkan hidangan makan malam : bubur ayam.
Aneh, tidak ada dekorasi sama sekali di rumah megah ini.
Tidak ada jeruk Mandarin di rumah sebesar ini.
Kok nggak ada Peking duck ya...
Meneketehe…?

Bubur ayam kami makan dengan sukacita, tapi karaoke?
Karaoke adalah salah satu kegiatan yang paling saya hindari, lebih baik saya ikut lomba balap karung daripada karaoke.
Bukan kenapa-kenapa sih.
Tapi lagunya itu lhoh. Kalau nggak “My Way” ya pasti “Kemesraan” kan?.
Maka dengan segala hormat, kita berdoa dan makan aja ya Koh…

Tepat sesudah pergantian malam, kami pulang basah kuyup kehujanan. Tapi bukankah hujan adalah signal kemakmuran?

Kemarin hari Sabtu menjelang Imlek, jam 23:30 saya masih di jalan pulang dari rumah teman.
Undangan tahunan tetangga belakang terpaksa tidak bisa kami penuhi.
Tadi sore rencananya akan datang sih, tapi meneketehe jalanan diguyur hujan lebat begini
Tapi ah ini kan symbol kemakmuran tahun depan.

Di jalan, saya kok tiba-tiba kepingin makan bubur ayam.
Gong Xi Fa Cai ya Koh, Cik…