Tuesday, April 28, 2009

The Brand. The Name. The Legend - Hot black coffee and coconut sugar in a tin cup

Disadari atau tidak, Nunung Srimulat adalah sebuah brand. Penampilannya di Kick Andy beberapa waktu lalu (malah kabarnya mau re-run) tetap membuat banyak orang tertawa. Penampilan yang konsisten dari anggota kelompok legendaris Srimulat.

“Ayo, jadikanlah aku bancakan!”
Yang ini mungkin tidak semua menyadari bahwa sebenarnya bukan sekedar kalimat lucu, tetapi lebih jauh dari itu, ini adalah sebuah brand proposition.
Dia menyadari benar bahwa ketika dia muncul di panggung, lawan mainnya sudah lucu-lucu semua.
Lantas bagaimana dia bisa mengambil bagian?
Ya itu tadi, jadikanlah aku bancakan! Sebuah invitasi fisik yang mengundang tawa dan perbuatan (dalam bahasa komunikasi dengan fasih kita biasa menyebut sebagai ‘call to action’).

Nunung jauh lebih cerdas menganalisa dirinya untuk mencari faktor pembeda antara dirinya dan kompetitor - yang notabene adalah teman-teman sepanggungnya- dibanding dengan invitasi poster-poster caleg yang tempo hari bergelayutan di pohon-pohon.
Sukses Nunung dan Srimulat lebih long lasting karenanya.
Karenanya?
Barangkali juga bukan semata-mata karena itu.
Yang jelas seringkali peranan brand name juga menentukan kesuksesannya.
Bahkan sebuah brand name (betapapun noraknya) seringkali meginspirasikan sebuah proposisi yang memudahkan komunikasinya. Karena brand name dirancang tidak berdasarkan ritual bubur merah-putih biar selamat, tetapi semata-mata untuk tujuan marketing, biar dibeli.
Bahkan di banyak kasus, sebuah brand name memudahkan pekerjaan kreatif karena sudah mengandung ide di dalamnya.

Dalam kasus Nunung, dia tertolong oleh mother brandnya: Srimulat yang legendaris. Mother brand yang dibangun dengan blood, sweat and tears dan managed by nasib. Podo-podo rekoso, podo-podo senenge. Mangan ora mangan, yen iso ngguyu wae… (dalam bahasa cowboy Grand Canyon disebut: camaraderie)
Tetapi sebenarnya sebuah personal brand seperti Nunung akan bertahan lama kalau dia perform secara konsisten. Dia harus rajin membuat debut, bila perlu ngebut.

Seorang pengusaha muda mengajarkan kepada saya bahwa kalau memulai bisnis baru harus ‘beda’. Di teori-teori tentang brand, hal tersebut yang akan memudahkan ke slot mana brand tersebut masuk ke benak konsumen.

Di Yogya belakangan muncul brand name baru, namanya Wedang Uwuh (wedang: minuman hangat, uwuh: sampah – konon ini minuman yang dibuat dari ramuan, serutan dan ‘kepyuran’ berbagai macam local ingredient yang fungsinya menyegarkan dan – syukur-syukur -menyehatkan) yang lantas menjadikan peminat kuliner penasaran ingin mencoba.
Saking populernya brand tersebut, yang bersangkutan banyak ditiru dalam berbagai macam versi dan perlahan menjadi generik -> masuk ke paritas produk.
Padahal dari namanya yang ‘uwuh’ tadi kita bisa dengan gampang mengkomunikasikannya (atau jangan-jangan tidak perlu dikomunikasikan lagi dengan berbagai macam terori komunikasi modern).

Brand name itu high recall (seharusnya).
Di agenda pementasan Teater Salihara Pasar Minggu, saya kecewa berat karena ketinggalan satu jadwal pentas dari kelompok musik yang bikin penasaran. Hanya karena brand namenya adalah: Kelompok Musik Cangkem Khatulistiwa.