Tuesday, September 12, 2006

That “Sometimes” is true – 2 cups of black Arabica on the side walk

“Sometimes the highest learning must be found in the ground beneath your feet”
Kalimat itu ada di cover sebuah DVD film Thailand ‘Tin Mine’

Entah kenapa ya belakangan ini saya ‘tune in’ banget pada setiap hal yang bernada atau mengandung muatan ‘kearifan lokal’. Pada cerita-cerita yang terjadi di pelosok ujung kampung sana atau kejadian yang membukakan mata di lereng gunung yang tidak mungkin terjangkau BTS provider selular manapun.
Bukan pada keharuman para metrosexual di hemmmm…metropolitan.

Pada cerita yang sama sekali tidak funky atau jauh dari yang namanya ‘cool’. Bahasa gamblangnya ya ‘NDESO’ itu.
But I think it’s not about being funky. It’s about daring to be original. Or even more…being essential.

Dengarlah alasan pedagang angkringan di Jl. Mangkubumi Yogya yang menolak gerobaknya dibeli oleh juragan lain, semata-mata hanya karena :”Terus nanti kalau dibeli semua, bagaimana dengan Pak Anu yang biasa datang ngobrol tiap malam Jumat ke sini? Atau mahasiswa kost sebelah itu yang tiap malam beli nasi bungkus dan ngutang rokok ke sini? Nanti mereka nggak kebagian?”

Oh-my-God-!
That was nothing to do with funkiness, indeed.
Nggak ‘cool’ sama sekali.
But I call it ‘pure’

Pada saat pengin menulis cerita bualan mengenai hal-hal seperti itu kok ya tiba-tiba mas Amrin secara intensif mengajak kerja bareng.
“Mari kita bikin sesuatu yang absurd” katanya.
Kok ya selalu saja saya merasa belum siap.
Padahal mengutip headline iklan teman di Yogya, bukankah “Siap nggak siap harus siap?”
Bukan apa-apa, hanya karena pengin aja rasanya melakukan yang benar dan bagus, sebagus-bagusnya. Dan minimum eror (djarot :P)
Salah satu guru dulu bilang “Ok, if you want to do, let’s do it right”
Bukan jadi penulis instant, pelukis mendadak, pembuat film sore pesan besok jadi (kayak penjahit Hariom di Pasar baru deket kantor dulu).
Tapi “Let’s do it right” itu kok mengganggu banget dan pelan-pelan jadi obsesi.

(… keluh)