Thursday, October 12, 2006

Speak on the bump – the Tubruk never die

Menempuh 1 jam perjalanan setiap pagi dengan route yang itu-itu saja (atau kalau toh bisa menghindari rute yang itu-itu saja, pasti ketemunya juga di situ-situ saja), bukan hal yang selalu mengenakkan.

Bersandar di jendela sambil dengerin musik kok jadinya kalau nggak mellow malah kayak itu lho sopir angkot yang selalu pegang stir dengan tangan sebelah sementara tangan satunya menopang badannya yang nggak niat itu ke jendela.
Dulu saya punya penghiburan dengan membaca ekspresi arus bawah (baca : kelompok rawa – red) yang seringkali insightful, entah itu di kaca Kopaja, Metromini atau bak belakang truk.

Perlombaan menemukan ekspresi lucu setiap pagi dan SMS ke kelompok terbatas yang punya sense of humor sama memang menghibur sekaligus meng-upgrade level of humor ke tingkat yang lebih advance (mulai absurd nih…).
“Ada truk ngangkut singkong. Di bak belakang ditulis ‘Singkong’. Redundant. Nyinyir” bunyi SMS saya ke teman-teman.
“Kayak iklan bank (tiiiiiittttt…) gambar lebah ngerubuti botol cairan kuning tulisannya madu” kata teman lain.

(Ah jangan bahas iklan deh. Bosen, kayak milis).

Karena nggak ada yang menarik, ya sudah saya menikmati kemacetan dengan menatap punggung mobil di depan saya baik-baik.
Di sanalah saya menemukan pembicaraan lanjutan:

>> “Stiker National Geographic di kaca belakang mobil lebih elegan dibanding Apple” - SMS saya ke beberapa teman.
>>“Yo jelas no (ini pasti logat kedaerahan tertentu :P), pemerhati sekaligus donatur segala macam riset menguak rahasia alam. Sementara Apple sudah bias dengan para muggle sok gaul pemakai iPod” - reply seorang teman dengan antusias.
>>“Kemarin liat stiker When Smith & Wesson talk, people listen” - balas teman yang lain.
>>“Hahahahaa…itu mah gak listen lagi. Gone!” - kata saya.

Lantas sisa perjalanan saya pakai untuk mengamati stiker yang macem-macem.
Ada stiker singa Taman Safari. (Pasti orangnya cinta keluarga)
Di mobil lain ada stiker emoticon senyuman. (Oh itu yang dikasih di pintu tol minggu lalu. Kampanye ‘tetap senyum’).
Ada stiker Tunas Mobil. (Kredit ya mas? Sama dong tapi punya saya udah lunas :P).
Ada lagi stiker Harley Davidson. (Hmmm…ya ya ya… Next!)
Ada stiker Allah itu penuh kasih. (Dan kasih itu lemah lembut dan panjang sabar kan Bos?)
Ada juga stiker Baby on Board. (Nah yang ini kadang-kadang nipu. Mana baby nya? Mungkin pengiiin banget punya baby. Semoga cepat tercapai).
Ada stiker No Fear. (Tough guy? Ah itu mah stiker lama dari kaki lima).
Di tikungan ada angkot putih stikernya Sukoharjo Makmur. (Pasti sopirnya bangga dengan daerahnya di selatan Solo sana).
Ada Avanza stikernya BSD City. (Itu mah tetangga narsis).

Teman lain bilang bahwa “Wah ternyata stiker bisa jadi marketing personality ya…”.
Memang. Paling tidak ada attachment terhadap subject tertentu.

Sewaktu saya menempel Apple di kaca belakang, waktu itu saya merasa ‘cool’ karena masuk dalam komunitas pemakai Macintosh (meskipun dibeliin kantor – ora urusan!).
Tetapi sewaktu nyuci mobil di bengkel dan tau-tau ditempelin stiker bengkel itu, rasanya kesel banget. C’mon, you ndak bayar saya buat media ek-lan (sering dibaca ‘iklan’ – red :P) you punya bengkel haaa.. enak aja nempel-nempel stiker. Jelek lagi.

Sticker is for reason(s), indeed.
Satu jam perjalanan tiap pagi saya menemukan begitu banyak personality. Begitu banyak karakter.

There’re so much stories on the street.
Perhaps, it’s story for a commercial too.

Monday, October 09, 2006

When you deserve it, you will – Sour bean. Robusta

Kalau ditanya siapa penulis yang saya kagumi, pastilah beliau adalah Umar Kayam (alm). Karena dia Jawa? Bukan, karena saya juga mengagumi Iwan Simatupang yang bukan Jawa. Atau Mario Puzzo yang selalu menulis tentang Palermo dan Sisilia.

Dalam setiap tulisan Pak Kayam selalu ada penyederhanaan masalah dari sekian komplikasi problem yang ada.
Selalu ada pembelajaran dari kekaguman tanpa jadi membabi buta mengagumi sehingga lupa harus berbuat sesuatu yang mengagumkan juga.
Selalu ada ‘message’ dan sentilan agar segala sesuatunya berjalan proporsional.

Seorang teman lama dari negara tetangga pernah dengan antusias memberitahukan :

o/o : “Eh, I just got a new writer. She’s very brave. Award winning. She scares all client services. I am sure she’s gonna be a group head in the near future”
x/x : “Wow”
(Kata saya, meskipun sebenarnya saya sudah tahu, makhluk seperti apa writer yang dimaksud itu).
Dalam hati saya sebenernya juga bertanya-tanya kenapa harus nakutin client service? Kalau kita main pingpong dan lawan main kita takut, apakah kita akan mendapatkan umpan bola yang baik?

Tapi saya diam saya, wong nggak disuruh komentar kok.

Tiga bulan kemudian saya ketemu lagi teman tadi dalam forum yang sama. Kali ini saya yang bertanya duluan :
x/x : “How’s your writer? Is she doing great?”
o/o : “Well…you know when you think you have achieved something but actually you have not?”
(Saya garuk-garuk kepala, agak nggak mudeng. Mungkin karena ngomongnya bahasa Inggris :P)
o/o : “That’s her!”
x/x : “Owws…”
(Saya tidak bilang kalau sebelum direkrut dia, sebenarnya yang bersangkutan sudah saya tolak karena persis seperti yang teman saya katakan tadi. Hanya saja entah kenapa saya mendeteksinya lebih awal).

Saya jadi ingat tulisan Pak Kayam tentang interaksinya dengan sopir sekaligus ‘ajudan rumah tangganya’ mengenai posisi jabatan yang ‘di advanced’ karena keterburu-buruan seseorang kepingin menjabatnya.
Seseorang dengan angle yang sempit merasa bahwa dia mengetahui lebih banyak, padahal jabatan yang ingin didudukinya mengharuskan kemampuan dia untuk menghandle krisis lebih banyak.