Thursday, April 03, 2008

“Bad marketing wish - Too much coffee will kill you (Queen)”

Saya pernah di cap ‘anti marketing’ di sebuah milis.
Entah apa maksudnya, apakah agency tempat saya bekerja dulu begitu dilihat sebagai 'main competitor' agency dia, atau karena saya pernah menganut ‘faham award driven’ di agency sebelumnya yang membuat yang bersangkutan begitu sinisnya dengan ‘drive’ tersebut.

Saya pikir, bagaimana mungkin saya bisa ‘anti marketing’ sementara saya bekerja di industri advertising seperti ini. Darimana saya bisa mendapat gaji kalau bukan income dari para marketer di pihak klien.
Aneh. Ah tapi sudahlah, saya berusaha melupakan ‘tuduhan’ itu dengan bekerja sebaik-baiknya.

Belakangan saya ngobrol sama Glenn Marsalim (dedengkot freelancer itu) di YM.

GM : “Aku lagi pusing nih, bantuin agency2 kok sekarang nggak proper ya kerjanya. Serabutan sekali. Kalau aku jadi klien liat kerjaan agency gitu juga gak respek. Tapi mirisnya, orag agency nya ngerasa udah luar biasa kerjanya”
GS : “Emang sih terasa ada peralihan pola agency, kinerja, sumber daya manusia dsb”
GM : “Jadi kesannya tuh ‘asal’ gitu loh.... Aku juga ngerasa kalau jadi klien juga makin gak percaya dan respek sama agency selonte lontenya aku, aku tetep ngerasa kita mesti coba kasih saran yang menurut kita terbaiknya gimana kalau udah mentok tok tok baru deh nyabo, tapi kalau sekarang tuh belum apa apa dah nyabo”
GS : “Itu dia... gak ada yang mendidik market dalam komunikasi jadinya, klien nganggep begitulah agency, makanya fee nya bisa di abuse. Output yang kita liat setiap hari di media ya seperti itu. Oooo....itulah iklan”
GM : “Emang siiih.... klien juga makin hari makin pelik ya keadaannya berasa lah dari brief mereka juga makin hari makin pelik. Agency juga mesti lebih lentur dalam menyikapinya, tapi sekarang kalau agency dianggap third party atau diremehin klien, gak boleh sakit hati kan
GS : “Terrlanjur gitu... sebenernya disini fungsi organisasi untuk men...... tiiiiiiittttttttttttttt

(disconnected)


GM : “Aku sih ya gak mikirin organisasi sama sekali
GS : “Kamu gak mikirin tapi ini udah jadi virus industri, kondisinya gak ada yang ngobatin. Suatu hari kalau aku bisa keluar dari advertising dan hidup mapan dari sumber lain (amin!), aku pengin nulis buku kumpulan kejadian2 di bisnis advertising :"Advertising is not Everything". Kamu mau jadi editorku?
GM : “Mau... hehehehehe, tapi aku belum selesai dengan kekesalanku ini kok kamu dah ganti topik kayak orang iklan deh
GS : “Ya beginilah caraku kompensasi. Topiknya struktural soalnya, penyakit inti sel
GM : “Aku bilang sih secara sederhana orang orang iklannya aja yang ngaco. Masalahnya jangan ngomong mendidik lah emang siapa lebih pinter dari siapa. Agency juga gak lebih pinter dari siapa siapa
GS : “Bukan masalah pinteran siapa tapi agency musti bisa duduk semeja dengan klien
GM : “Untuk bisa kerjasama kan mesti saling ngerti toh? Nah seberapa banyak agency mau ngertiin klien lah
GS : “Mari kita tutup dengan mengucapkan : Begitulah
GM : BEGITULAH


Jebakan.
Jebakan yang juga saya rasakan dalam mendevelop team kreatif. Prioritas antara memahami brand, memahami konsumen, memahami kompetisi, memahami market, memahami media dan menjadikannya fokus sebagai output, jadi terjungkir balik dan tidak akan pernah lengkap tanpa pemahaman yang komprehensif terhadap bisnis klien.

Pemahaman yang terakhir ini menurut saya musti dibalik menjadi yang pertama. Dan ini bukan hal gampang untuk ditanamkan di seluruh denyut nadi semua anggota team. Dan kalau mereka nggak ngerti-ngerti, itu salah saya juga.
Jebakan batman yang mempersempit angle anggota team, sehingga output kreatif nya keukeuh sumeukeuh idealis atau yang seperti Glenn bilang : nyabo onanis.

Terus, hubungannya dengan judul di atas?
Ooooh.... itu?
Itu adalah tentang kavling di depan rumah saya yang belum laku2 dan saya doakan tidak pernah laku biar tidak menghalangi angin ke rumah saya dan seolah-olah saya punya halaman depan yang luaaaaas.....
Anti marketing?
Ya ndak lah, buktinya saya tidak mencabuti papan nama para broker kayak LJ.Hooker (ini nama kok ya hooker to yaaa...?)dan kawan-kawannya.

Kan berusaha memahami bisnis klien, hihihihi.....

** Transkrip dialog YM di upload atas seijin Glenn

Monday, March 31, 2008

“The Gudeg and the Cong” - Over boiled local Toebroek”

Tadinya saya pengin beri judul postingan ini sekeren : ‘Thief and The Cobbler’ (ingat film animasi absurd tahun 80an?), atau ‘Starsky and Hatch’, atau ‘The King and I’, eh jadinya kok ya gudeg juga.
Bodo ah.

Seminggu setelah Imlek saya sms si Fung : ‘Cap go meh’.
Dia jawab :
o/o: “Wah shio Tikus cong nya berat tahun ini”
x/x : “Ha? apa itu cong? (moncong? congor?) Aku shionya Tikus...”
o/o: “Kesehatan dan keberuntungan. Musti banyak-banyak berdoa dan menjaga kesehatan dengan benar. Kalau di klenteng ada ritual khusus untuk menolak bala”
x/x : “Oooo ...(=melongo).
Di hari lain Glenn bilang melalui YM nya.
*/* : “Banyak-banyaklah sedekah”
(saya lantas ingat persembahan bulanan yang belum saya kumpulkan)

Kehidupan berjalan rada tidak biasa sampai datangnya lemas-lemas, mual dan anget-anget nggak jelas.
Tusuk jarum dan moksa tidak mempan dan hanya menunda datangnya demam di hari berikutnya.
Not now! Lusa ada pitching.

Confession to dr.Jacob.
Adalah seorang dokter Jacob, general practitioner yang senior. Dari cara memegang pasien saya tahu dia setingkat dokter Broto dari Angkatan Laut itu.
Dan diagnosanya bisa diandalkan tentunya.
x/x : “Dok, saya pernah bed rest tujuh tahun lalu karena gangguan fungsi hati, trus beberapa bulan lalu karena kristal di ureter saya. Apakah ini akan terulang Dok?”
+/+ : “Tidak ada salahnya nanti setelah demamnya turun check darah ke lab. Ini saya deteksi ada radang di tenggorokan”
Anti biotik yang sebisa mungkin saya hindari, kali ini tidak bisa dielakkan.
Pitching bisa ditebar dengan pesona maksimal.
Thank God.
Malamnya muntah tanpa keluar apa-apa.

Kyle Kwong is no longer interesting.
Antibiotik dokter Jacob bikin teler seteler-telernya (mengingatkan saya akan tagline es teler di Yogya dulu : Memasyarakatkan es teler dan menelerkan masyarakat.)
Kepala tidak pernah tegak, badan lemes aneh (istilah teman saya : kurang jelas maksudnya :P)
Mual dan lucunya, sampai nonton acara kulinernye Kyle Kwong dan Anthony Bourdain saya eneg melihat makanannya. Apakah TV sekarang sedemikian interaktifnya sampai makanan yang di broadcast bisa bikin mual penontonnya? Heran.
Anehnya, pengin banget rasanya bisa makan gudeg saat itu.
Terbayang nasi panas dengan gudeg sambel krecek, tahu yang kenyal-kenyal gempi, telur pindang yang coklat kehitaman (M74, Y72, C57, K79) serta dada ayam dengan areh yang menggiurkan (yang menuruh istilah pak Umar Kayam almarhum : ‘mlekoh’) terus disuwir-suwir. Huaaaaaaaaaaaaaaaa............
x/x : “Aku tak mereparasi tubuhku dulu ya, daripada masuk trus kayak kemarin mual lagi”
Teman-teman saya di kantor pasrah.
Atau tepatnya hopeless.

Back to square one.
Body saya tidak mampu menyerap antibiotik dan obat mual yang bikin hoek.
Internist andalan saya dr. Azwar saya datangi siang-siang (padahal dapet nomernya pagi-pagi).
Sekujur perut rasanya kram.
Seperti Abraracourcix yang melolong ketika perutnya kejatuhan daun sewaktu sakit maag, begitulah saya saat dokter Azwar memegang ulu hati saya.
+/+ : “Obat ini terlalu kuat untuk lambung, saya ganti ya. Yang antibiotik dihabisin saja”
(keluh)
o/o : “Bukan gangguan fungsi hati dok?”
+/+ : “Rasanya bukan. Bapak sedang stress?”
(keluh)
Dua hari tidak ada tanda perubahan signifikan.

Yellow spot.
Jumat malam 18.25-18.30 (emang perang Diponegoro?) sampailah saya di UGD yang sedang berisik. Hemmm...dokter jaganya gak detail, kecuali :
+/+ : “Mata Bapak kuning sekali, sebaiknya dirawat dan temperaturnya 38,6. Sebaiknya segera cari kamar”
Mau saya memang dirawat, tapi cari kamar di sini?
Sewaktu masih jadi salah satu direktur perusahaan besar (perusahaannya yang besar, gaji mah segitu-gitu aja), ini gak jadi masalah. Saya bisa langsung ke VIP.
Tapi sebagai saya sekarang, pemegang saham Sharp Knees Capital & Co (maksudnya Perusahaan Modal Dengkul Tajam, gitu lhoh) saya musti berhitung.
Kelas satu aja, yang satu ruang berdua. Lebih murah pastinya.
Cilaka, penuh!

The Doctor’s speaking.
+/+ : “Hasil test darah, urine dan feces menunjukkan ini positif Hepatitis A. SGOT nya tinggi sekali pak, normalnya 35 ini 1700. Tapi biasanya kalau matanya kuning demamnya berhenti. Jadi kita tunggu test susulan...”
(suster datang dengan lab report terbaru)
+/+ : “Oh ini dia. Typhusnya positif”
Jam 12 malam si kakak dibangunin untuk menandatangani konsekwensi treatment antibiotic yang akan digelontorkan lewat infus kedua, yang biayanya (itu yang dimintakan kesepakatan) huhuhuuuuuu......
Ya udah ditandatangani aja.
Seraaaaaah deh.
Malam itu tergeletak pasrah.
Jam 5.30 dibangunkan suster untuk mengganti sprei, ukur suhu, ukur tensi dan melap badan. Mana mungkin bisa tidur lagi.
Jam 6 pagi adalah momentum akbar untuk makan gudeg. Sambel krecek, tahu kenyal, telur pindang, ayam suwir-suwir dan.... pintu di ketok petugas gizi mengantar sarapan pagi : bubur putih polos dengan telur rebus !
Seraaaaaaaah deh.


Batman Begins
Hari ketiga dilepas mandi sendiri.
Begitu saya menikmati kucuran shower dengan mata terpejam, mendadak saya melihat lubang bersinar terang sekali dalam kegelapan retina saya. Seperti point of view Batman waktu kecil yang terjerumus dalam sumur melihat ke langit. Mulut gua atau mulut sumur dengan sinar turquoise kuat sekali.
Saya menikmati sinar itu karena memang bagus warnanya (art directed), dan kemudian ada sinar yang lebih kecil tapi tajam ditengah sinar turquoise tadi. Selama hampir 10 menit mata terpejam saya menikmati sinar berwarna itu. Komposisi hue, saturation, color balance dan segala teori Newton serta treatment Photoshop, adobe Light Room atau Aperture ada semua di situ.
(Ini ngomong apa ya?)
Dan ketika mata saya terbuka, lubang sinar tadi menabrak dinding keramik dengan reversed color menjadi bintik kuning yang besar.
Saya melihat spot kuning di dinding kamar mandi, terang...seterang sinar di lubang sumur Batman tadi. Saya mengedip-kedip dan yellow spot itu tidak hilang.

Harapan semu.
Jumat atau tepat seminggu dr. Azwar menghibur bahwa semua sudah baik, sudah oye, tinggal besok pagi sekali lagi ambil darah untuk di check. kalau sudah baik siang bisa pulang.
+/+ : “Tapi bukannya orang Jawa tabu ya pulang hari Sabtu?”
Dokter ini orang Padang, dan saya yang Jawa malah nggak tau masalah itu.
Sabtu dini hari saya siap diambil darah.
Sorenya si pak dokter melemaskan harapan.
+/+ : “Typhusnya belum hilang. SGOT dan SGPT sudah turun drastis. Bilirubin 1.5 9mustinya 1) tapi Gamma GT kok naik ini. Jadi jangan pulangnya besok aja dengan syarat di rumah musti istirahat dan diet ketat. Jangan kerja dulu!”
(Terus, gimana saya bisa gajian?)
Orang Jawa memang nggak boleh pulang Sabtu.

Sampai hari ini keinginan makan gudeg dengan ayam suwir-suwir, tahu kenyal gempi, telur pindang kehitaman dan sambel goreng krecek serta nasi kemebul itu belum juga kesampaian.
Meskipun gudeg adalah makanan tanpa gizi (gimana bergizi wong enaknya dinikmati kalau sudah dipanasi 2 hari - tapi ya gitu deeh), gudeg memang tiada duanya.
Selamat makan bubur sagu. Ealaaah Cong...Cong!