Monday, September 26, 2011

Coffee is Universal Language – Americano at the Junction


Mana yang lebih penting? Shopping list atau shooting list? Saya lebih memprioritaskan yang kedua. So what? Nothing.
Paling tidak saya melatih diri untuk tahu apa yang saya lakukan. Terhadap brand, terhadap venue, terhadap equipment, terhadap uang yang saya miliki. Semacam tanggung jawab terhadap brand lah. Berlebihan mungkin…
Dalam sebuah kesempatan baru-baru ini ke Milan, kami diceburkan oleh rombongan ke sebuah mall di dekat perbatasan Italy-Switzerland.
Mungkin aneh kedengarannya bagi orang lain bahwa di negara ‘branded’ itu yang terpikirkan di benak saya bukan merek-merek apparel. Dan ketika rombongan menyerbu toko-toko multibranded itu, seketika saya merasa sendirian. Sesuatu yang memerdekakan. Worldwide freedom, halah…
Lama menunggu rombongan berkumpul, saya celingukan ‘nothing to do’ sebelum akhirnya menemukan apa yang saya cari, kedai kopi di pojok perempatan jalan. Di sanalah saya menghabiskan cup kedua (di pas-pasin biar sama seperti nama blog ini) sambil mengamati apa yang terjadi di seputar saya. Bagi saya ini jauh lebih mengasikkan daripada menenteng tas besar-besar dengan logo-logo pakaian internasional yang belum tentu dipakai pas dengan kondisi kulit gelap saya. Bagi saya, sebuah brand kalau tidak mampu memberi added value konsumennya, tidak perlu dibeli. Sepotong jas Armani mungkin bisa menambah saya sedikit terlihat mahal, namun apalah artinya kalau saya memakainya cuma kalau ada kondangan – yang notabene tidak mungkin saya pakai di setiap kondangan, nanti dikira saya tidak punya jas yang lain. Jaket kulit dan winter coat yang gemerlap ditenteng-tenteng dalam tas belanjaan yang super besar (indikasi fashion show dalam bentuk lain – menenteng branded shopping bags), padahal di Jakarta hujan saja tidak pernah. Ealaah…

Dan pada saat saya menyeruput kopi saya, saya merasa benar. Ini adalah ritual kopi Italy, dan di sinilah Howard Schultz menemukan romantika kopi sebelum dia mengadopsinya ke Starbucks. Paling tidak saya merasa minum kopi dengan sebuah konsep. Tanpa harus menghabiskan uang banyak.

Uang, siang itu menjadi sesuatu yang ingin saya adu dengan kopi dalam skala universalitasnya. Bukan semata-mata kemampuan lokalitasnya, seperti membeli mantel bulu untuk konsumen negeri tropis, atau sepatu racing untuk konsumen yang tidak pernah nyetir mobil. Money can buy anything. But there’s something…something that you can’t buy with your money.
That ‘something’ is inner discussion whilst you sip a cup of coffee.
That ‘something’ enriches quality of mind.

Saya lantas ingat kalimat bijak Leo Burnett dalam buku kecilnya “100 Wisdoms of Leo Burnett” di chapter agak belakang mengenai ‘when you may take my name of the door’. It’s the time when creativity being abused by money, is the time when you may take my name of the door. Lebih lanjut dia (yang notabene adalah copy based) bilang bahwa ketika copywriter dan art director mulai kehilangan passion dan semata-mata mengejar keuntungan financial, saat itulah dia sebagai copywriter rela namanya dicopot dari pintu dan mempersilahkan mengganti dengan nama siapapun yang lebih cocok. Dan karena money pulalah saya memutuskan untuk memisahkan diri dari rombongan yang masih gencar mengaduk-aduk isi toko di Duomo Point, menunggu hari gelap tanpa satupun shopping bag di tangan saya. Alasan saya sangat simple. Ketika matahari terbenam, mendadak saya melihat eksotika tempat itu. Lebih dari sekedar eksotika merek-merek yang dipajang sepanjang koridor Duomo Point. Lebih dari hiruk pikuk plaza dan lalu lalang shopping bags besar-besar. Saya mengambil kamera dan membiarkan toko-toko tutup, karena dari sana aura yang sebenarnya dari Duomo Point di Milan baru keluar.
Sembari duduk di pojok katedral dengan satu cone gelato, saya preview kamera saya, shooting list saya.

Saya hanya ingin memastikan di file kamera saya bahwa money bukan berhala buat saya.

Tuesday, April 28, 2009

The Brand. The Name. The Legend - Hot black coffee and coconut sugar in a tin cup

Disadari atau tidak, Nunung Srimulat adalah sebuah brand. Penampilannya di Kick Andy beberapa waktu lalu (malah kabarnya mau re-run) tetap membuat banyak orang tertawa. Penampilan yang konsisten dari anggota kelompok legendaris Srimulat.

“Ayo, jadikanlah aku bancakan!”
Yang ini mungkin tidak semua menyadari bahwa sebenarnya bukan sekedar kalimat lucu, tetapi lebih jauh dari itu, ini adalah sebuah brand proposition.
Dia menyadari benar bahwa ketika dia muncul di panggung, lawan mainnya sudah lucu-lucu semua.
Lantas bagaimana dia bisa mengambil bagian?
Ya itu tadi, jadikanlah aku bancakan! Sebuah invitasi fisik yang mengundang tawa dan perbuatan (dalam bahasa komunikasi dengan fasih kita biasa menyebut sebagai ‘call to action’).

Nunung jauh lebih cerdas menganalisa dirinya untuk mencari faktor pembeda antara dirinya dan kompetitor - yang notabene adalah teman-teman sepanggungnya- dibanding dengan invitasi poster-poster caleg yang tempo hari bergelayutan di pohon-pohon.
Sukses Nunung dan Srimulat lebih long lasting karenanya.
Karenanya?
Barangkali juga bukan semata-mata karena itu.
Yang jelas seringkali peranan brand name juga menentukan kesuksesannya.
Bahkan sebuah brand name (betapapun noraknya) seringkali meginspirasikan sebuah proposisi yang memudahkan komunikasinya. Karena brand name dirancang tidak berdasarkan ritual bubur merah-putih biar selamat, tetapi semata-mata untuk tujuan marketing, biar dibeli.
Bahkan di banyak kasus, sebuah brand name memudahkan pekerjaan kreatif karena sudah mengandung ide di dalamnya.

Dalam kasus Nunung, dia tertolong oleh mother brandnya: Srimulat yang legendaris. Mother brand yang dibangun dengan blood, sweat and tears dan managed by nasib. Podo-podo rekoso, podo-podo senenge. Mangan ora mangan, yen iso ngguyu wae… (dalam bahasa cowboy Grand Canyon disebut: camaraderie)
Tetapi sebenarnya sebuah personal brand seperti Nunung akan bertahan lama kalau dia perform secara konsisten. Dia harus rajin membuat debut, bila perlu ngebut.

Seorang pengusaha muda mengajarkan kepada saya bahwa kalau memulai bisnis baru harus ‘beda’. Di teori-teori tentang brand, hal tersebut yang akan memudahkan ke slot mana brand tersebut masuk ke benak konsumen.

Di Yogya belakangan muncul brand name baru, namanya Wedang Uwuh (wedang: minuman hangat, uwuh: sampah – konon ini minuman yang dibuat dari ramuan, serutan dan ‘kepyuran’ berbagai macam local ingredient yang fungsinya menyegarkan dan – syukur-syukur -menyehatkan) yang lantas menjadikan peminat kuliner penasaran ingin mencoba.
Saking populernya brand tersebut, yang bersangkutan banyak ditiru dalam berbagai macam versi dan perlahan menjadi generik -> masuk ke paritas produk.
Padahal dari namanya yang ‘uwuh’ tadi kita bisa dengan gampang mengkomunikasikannya (atau jangan-jangan tidak perlu dikomunikasikan lagi dengan berbagai macam terori komunikasi modern).

Brand name itu high recall (seharusnya).
Di agenda pementasan Teater Salihara Pasar Minggu, saya kecewa berat karena ketinggalan satu jadwal pentas dari kelompok musik yang bikin penasaran. Hanya karena brand namenya adalah: Kelompok Musik Cangkem Khatulistiwa.

Thursday, November 13, 2008

Between ‘mak jegagik’ and ‘mak bedunduk’ - Need no subhead

Dua kosa kata Jawa yang sangat ekspresif.
‘Mak jegagik’ dan ‘mak bedunduk’ sebenarnya mempunyai nilai keterkejutan yang nyaris sama. Yang membedakan hanyalah dimensi ruang di sekitarnya.
‘Mak jegagik’ adalah keterkejutan sesaat ketika berhadapan dengan obyek lain secara sontak dan frontal, dan keterkejutan tersebut berpihak pada subyeknya.
‘Mak Jegagik’ mempunyai efek turunan yang bernama ‘mak tratap’, yaitu kejadian yang membuat jantung dienjot-enjot sepersekian detik sebelum dilepas ke kondisi normal.

Sementara pada ‘mak bedunduk', obyek dengan cepat berubah menjadi subyek yang mempunyai kontrol penuh terhadap penampilannya yang mendadak. Dia mampu mengatur speed dan appearance. Mau dissolve, slow motion atau fade in terserah dia.
Kehadirannya bisa seperti hantu yang tau-tau nongol sosoknya di tempat yang dia kehendaki…. mak bedunduuuuuuuuuuuuk.

Dan inilah produk ‘in between’ versi kami.


Sebuah proyek kolaborasi yang tidak terlalu mengejutkan, tetapi juga tidaaaak terlalu bisa diprediksi pemunculannya.
Kolaborasi tiga profesi yang dijungkirbalikkan dari fungsi-fungsi normalnya.
Film Director yang biasa ‘dealing’ dengan motion picture, kok ya menghentikan gambar-gambarnya menjadi foto.
Creative Director yang ‘dituduh’ art based (visual based kali ya…), kok ya mendadak menjadi penulis.
Dan ini yang aneh, Pengusaha Restoran kok ya ngedisain grafis. Disainnya maut pula…

Proyek kolaborasi yang mengandung titik dua (:)
80% nekat
20% narsis (okelah, aktualisasi diri)
1% magic
Lhoh, jadinya 101% dong?!
Emang kenapa?

Inilah proyek kolaborasi selama 1.5 tahun yang membuat saya menemukan orang-orang yang mempunyai passion di dunianya, di lapisan layar yang paling belakang dari sebuah panggung pementasan.
Proyek kolaborasi yang membawa saya menonton Bedhaya Dhirada Meta ke Teater Salihara untuk merasakan aura magis yang luar biasa.
Proyek kolaborasi yang membuat para tetua yang saya hormati berkenan datang ke Palalada Grand Indonesia.
Proyek Kolaborasi membuat Oom Sonny Soeng rela menutup kafenya di malam minggu semata-mata untuk merilis proyek ini ke komunitas yang amat menyenangkan di Bandung.

Proyek kolaborasi yang munculnya mak bedunduk…dan bergerak diam-diam seperti setan.

I wouldn't end my steps at this point anyway. Not before I could describe the color of fresh water - (page 08)

Saya bahagia. Belilah! Belilah!

Tuesday, October 21, 2008

Chicken on nett – sit back, sip back, enjoy the show

Masih inget billboard besar menjelang masuk kota (atau kabupaten?) Pattaya yang dibuat oleh network agency setempat beberapa tahun lalu?

Welcome to Adfest. We hope you lose

Dari atas bus, minibus taksi atau taksi Mercedes yang membawa kontingen Adfest dari Swarnabhumi , billboard itu mengundang senyum.
Dan mendadak begitu sampai di jalan itu terasa ‘klik’ perbauran aura kompetisi, party, meeting dan sekaligus pelarian diri dari kantor.

Pattayaaaaaa here I am again….
(dibayarin kantor maksudnya)

Beberapa minggu lagi kita akan merasai aura yang kurang lebih sama di Jakarta. Melihat iklan bagus-bagus setahun sekali, mengerutkan dahi di seminar berbahasa Inggris, haha-hihi tukeran kartu nama dan keplok-keplok di seputar panggung. Rutin dan nyaris repetitive.

Bedanya, di sini bisa post party sambil memandangi perolehan trophy yang bagus sekali disainnya itu sambil menodong para MD, GM untuk membayar bill minuman berbotol-botol.

Minggu lalu saya tanya beberapa teman dekat saya dengan 1 pertanyaan klasik : “Ngirim entry banyak nggak?”

Jawabnya ternyata bermacam-macam :
1. “Nggak ngirim, nggak mampu bayar”
2. “Dikiiiit, ngelayani klien mulu, nggak sempet ‘main-main’ dengan inisiatif ad”
3. “Embuh. Aku pitching tiap hari nggak sempet pulang, boro-boro mikirin entry”
4. “Ngirim lebih banyak dari tahun kemarin meskipun kayaknya tahun ini agency si Anu masih merajai, at least dapet colongan lah” (hmm..panjang sekali jawabannya)
5. “Yang konvensional dikit, gue banyakin yang digital media”
6. “Tahun ini males maassss….”

Saya yang tahun ini tidak mengirim entry (dan tahun lalu diblokir secara internal…sukurin gak dapet apa-apa!), jawaban-jawaban tadi menunjukkan variasi situasi yang khas terjadi saat ini di industri.

Pertama, entry fee yang dirasa mahal. Buat teman-teman freelancer atau team kreatif yang dicuekin majikannya akan terasa sekali uang yang harus dikeluarkan (seperti kita bayar sendiri fiscal untuk liburan keluarga, dibanding kalau dibayarin PH atau kantor saat kita post pro atau meeting ke luar. Ditambah uang per diem lagi…)

Fenomena lain adalah dikotomi abadi bahwa award forum adalah forum iklan-iklan inisiatif yang nirlaba. Bukan iklan sehari-hari yang di push secara maksimal menjadi berkilat dan layak disebut sebagai ‘entry’. Hemm... Heeemmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm ......

Gejala lain adalah malas, atau ... eh kok tau-tau udah September ya, kita belum punya tabungan entry. Ini adalah fenomena ketidak-konsistenan untuk menghasilkan output berstandard ‘nggak malu-maluin’.
Excusenya adalah : masih manusiawi kok.

Berikutnya…Pitching. Momok baru yang menguras segala-galanya hingga kering, dan lebih kering lagi kalau pengumuman pemenang pitching adalah : TIDAK ADA, wong pengundang pitch cuma window shopping kok.
Mau window shopping atau window kaing-kaing, yang jelas alokasi waktu, tenaga dan pikiran kadung ‘all-out’ didedikasikan demi kenaikan billing.
Mister Entry untuk bulan depan nggak sempet dipikin. Salahin manajemen ajalah, gampang.

Yang menarik adalah tumbuhnya kesadaran akan media-media baru dengan pendekatan baru. Nggak percuma dikirim ikutan Seminar APMF ke Bali segala macam (problem utama setelah ikutan seminar adalah tidak pernah diimplementasikan bukan?). Ini strategi menarik untuk mengirim entry yang berpeluang besar.
Mengirim entry toh bukan semata-mata mengikuti kategori yang ada, terus minta uang ke Finance yang sebulan baru dijanjikan keluar.
Janganlah mengirim ke kategori yang diprediksi dipenuhi oleh entries agency lain, alokasikan ke media baru toh orang Finance juga nggak tau untuk apa duitnya.
Taunya : “Duit meluluuuu…piroooo?” Hahahahahaaaa… giliran dapet new business, meneng wae. Setidaknya inilah yang mewakili pikiran sebagian team kreatif.

Terlepas dari segala macam ‘alesan lu’ tadi, forum yang beberapa minggu ke depan kita ikuti bersama pastilah menarik. Jauh lebih menarik dari keseragaman status YM para BlackBerriers ‘Kill the chicken in you’ - yang notabene para pengurus event yang sibuk- belakangan ini untuk menengok YouTube.

Ayolah para chicken, get killed lah … and pay the entry on nett. We hope you all win, haa…

Tuesday, September 23, 2008

LEARNING BY DO WHAT – IMIGRANT SONG BY LED ZEPPELIN

Ya mari kita nonton TV.
Di National Geographic lagi ada perjalanan ‘Long Way Down’ nya Ewan McGregor dan Charley Boorman yang seru dengan motor BMW menyusuri London - Capetown.
Nah, di TV lokal juga tidak kalah serunya, ‘The Liputan Mudik’ hampir di semua stasiun televisi kita.

Selalu saja menarik dan saya sering sekali mengalami sendiri, menyusuri Sumedang-Kuningan-Purwokerto hingga Yogya menjelang tengah malam.
Sampai hafal liku-liku tikungan dan bagian jalan yang berlubang.
Menariknya lagi karena kita semua tahu bahwa menjelang Lebaran pasti butuh jalan yang lebar dan layak dilintasi, tetapi selalu saja jalan baru dipersiapkan dua bulan sebelumnya.
Padahal mudik adalah ritual tahunan yang penuh drama dan foto-fotoan (mulai nggak jelas nih!).


Dua puluh tahun lalu ketika saya berangkat ke Jakarta sebagai kaum urban dengan koper besar mengadu nasib di sini, setiap tahun pula saya selalu pulang melewati jalur mudik dengan segala macam versi jalan alternatif, jalan tikus sampai jalan kecoa. Nggak perlu GPS karena kalau kesasar justru di situlah dramanya.
Terjebak dan menginap di jalan hampir semua imigran pernah mengalaminya.
Dibelokin polisi berpuluh kilo jauhnya, hampir semua ‘orang Jawa’ merasakannya

Tahun ini karena saya nggak mudik, ya sudah mari nonton liputannya.

Berikut salah satunya, reportase dari dalam bis antar kota non AC yang berdesakan dan pengap.
Mbak Penyiar (MP) :
“Pemirsa saat ini kami berada di dalam bus yang akan membawa para pemudik ke kampung halamannya….Ibu, mau mudik ya Bu?”

Ibu Pemudik (IP) :
“Iya ke Sragen”
(MP) : “Kok naik bis begini Bu? Berdesak-desakan, apa nggak capek Bu?”
(IB) : “Ya capek lah mbak…”
(MP) : “Lama ya Bu perjalanan ke Sragen?”
Si Ibu diam saja, dan saya setuju lebih baik dia diam saja!

Oalah mbak… kalau si ibu itu mampu mencater bus sendiri pasti dia nggak naik bus pengap. Yo wis ben.
Mungkin si mbak penyiar itu dari Ostrali sehingga nggak tau sejauh mana Sragen itu dari Jakarta.

Pindah ke stasiun TV yang lain. Kali ini wawancaranya di kolong jembatan. Si mbak penyiar (penyiar apa penyair sih?) menanyai beberapa ibu tuna wisma dengan serenteng anak-anaknya yang berlarian kesana-kemari.
(MP) : “Kami berada di bawah jembatan layang di mana banyak sekali kami jumpai warga Jakarta yang tidak bisa mudik karena beban hidup yang begitu berat di Ibukota …Selamat siang Bu, kok ibu disini, nggak pengin mudik ya Bu?”
IBJ (Ibu Bawah jembatan) : “Ya pengin mbak”
(MP) : “Trus kenapa nggak mudik Bu?”
(IBJ) : “Nggak ada ongkos…”
(MP) : “Ini anaknya Bu? Kok nggak ditaruh di rumah saja, kan berdebu di sini?”

Rumah nyang mane, whoee…?
Ini lebih lucu lagi.
Kali ini yang ditanya anak-anak kolong yang dekil, entah anak si ibu itu beneran atau anak sewaan.

(MP) : “Adik-adik, kok main di pinggir jalan, nggak bahaya ya? Kok nggak sekolah?”

Oalah mbak… Emploken wis.

Entah kuliah jurnalistik di mana si mbak dengan pertanyaan yang seperti itu. Kok rasanya seperti copywriter menulis headline yang redundant trus minta di approved sama CDnya.

Dan jangan lupa, pertanyaan-pertanyaan itu berulang setiap tahun, sejak (setau saya) dua puluh tahun yang lalu, seperti halnya persiapan jalan mudik yang tidak pernah belajar dari pengalaman bertahun-tahun.

Oalah…nasib kaum urban...
Mari nonton Ewan McGregor naik motor di Afika saja. Minggu ini dia sudah masuk kawasan Sudan.

Wassalam.

Wednesday, August 27, 2008

OH, IT’S NOT DURIAN SEASON - Late night latte

Belakangan saya agak sering dimintai tolong teman-teman untuk nyariin orang.

Bukan!
Saya bukan detektif swasta. Teman-teman mau merekrut anggota team yang punya kompetensi pas. Mulai dari Graphic Designer, Art director, Writer, AE, Account Director… kenapa gak cari Owner sekalian yak… atau Manager Owner? :P
Trus kompetensi saya apa ya kok dimintai tolong nyari paket-paket ini?
Sempat terpikir, apa saya jadi head hunter swasta aja apa ya…? Side job jadi head hunter lucu kali ya… tapi ntar dipecat? Nggak ah, saya nggak punya proteksi hukum. Nggak kayak ‘The Predator’ yang bisa membunglonkan diri.
Ya saya senang-senang aja membantu teman-teman mencari ‘paket’ itu.
At least suatu ketika kalau saya butuh udah tau networknya.
Lagian kayaknya lagi musim pertukaran pemain nih. Turn over lagi tinggi.




Musim yang lain yang saya perhatikan adalah musim GM (bukan mie).
Perhatiin deh, di kantor si anu diangkat GM baru. Trus GM-GMan ini merembet kantor-kantor lain. Banyak kartu nama baru, posisi baru, mobil-mobil baru dan paket-paket unduhan baru.
Masalah kompetensi?
Karena saya batal jadi head hunter, ya mana saya tahu?
Kalau musim duren sih saya tahu mana yang bagus mana yang enggak. Mana montong, mana lokal, mana manis mana pahit, mana mahal mana murah. Lha kalau GM kan mahal murahnya bisa meniru ‘The Predator’ yang membunglon tadi. Maksudnya ambil paket mahal, pas diuji coba kompetensinya me-mimikri-kan diri. Gitu deh.
Sempet ketemu teman lama dan saya sempat tanya : “Kabarnya si Nganu gimana sebagai GM, bisa?” Pertanyaan saya sebenarnya tanpa tendensi apa-apa, eh lha kok dijawab : “Oh dia mah bisanya hihihi…” Lhoh gimana sih? Masak di kartu namanya ditulis “Nganu Hihihi”?

Musim yang lain lagi adalah menulis buku. Bukan lomba lhoh, musim.
Beberapa teman mendorong saya untuk nulis buku. Hah, buku apa? Nulis blog aja males kok.
“Nulislah buku advertising”
Oh noooo……!
Saya nggak kompeten.
o/o : “Trus kamu mau ngapain?”
x/x : “Nggg…apa ya…berkesenian mungkin” saya memberanikan diri.
o/o :”Melukis?”
x/x :”I wish!”

Lalu saya jelasin kalau saya menulis essay untuk buku foto teman saya dalam bahasa Inggris.
o/o :”Wueedan!! Keminggris!”
x/x :"Ya..paling enggak do something lah"

Saya menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan berbahasa saya jauh dari sempurna, apalagi bahasa asing.
Lha tapi piye? Wong jadi GM aja pada berani kok, mosok nulis aja nggak berani.
Tetep saya nggak pede nulis coro Enggris.
Tapi jadi GM kan nggak harus ngerti manajemen.
Nulislah mas…ayo…ayo.

Walhasil, saya minta tolong teman untuk mengkoreksi grammar saya. Tapi
awas ya, jangan ngrubah ekspresi. Teman saya menyanggupi dan meyakinkan bahwa untuk ekspresi seni, bahasa tulis nggak harus benar grammarnya. Paulo Coelho itu apa ngikutin tata bahasa?
Saya agak tenang.

Jadilah proof print yang disain grafisnya dikerjakan dengan penuh gusto. Senang bukan main, tapi sewaktu saya baca ulang, kok kayaknya banyak yang salah deh grammarnya.
o/o : “Ini sudah diedit oleh dua orang Mas, tenang aja”
Saya agak tenang.
Tapi bagi saya, bahasa Inggris adalah kira-kira. Enake ngene, raenake ngono, gitu lho!

Jadi, sekarang saya lagi nunggu buku itu naik cetak. Perlu lah naik cetak sebelum naik jadi GM (hus!) atau naik-naikan lain.

Jadi, sekarang saya ikut musim.
Ada yang mau duren?

Tuesday, June 24, 2008

Service Oriented vs Survival Oriented - Cappuccino Plus Plus

Lebih seneng mana? Bayar tukang parkir jalanan 2 ribu tanpa balasan terimakasih, atau lagi jalan di mal trus dikejer-kejer SPG kartu kredit?

Atau gini deh, berapa kali dalam seminggu kita melihat penjaga gerbang tol tersenyum? Hayooo…..
Yang jelas beberapa kali saya baca di ‘Redaksi Yth’ para corporate pi-ar berusaha menjelaskan ke publik dengan menanggapi keluhan konsumen mereka yang diposting di ‘Redaksi Yth’ edisi sebelumnya.
Intinya isinya : “We are apologizing for this/that/those inconvenience”

Di pompa bensin Pertamina (yang baru diberlakukan setelah dapet saingan…ealaaah) sekarang ada tulisan hotline pengaduan gede-gede dan jelas-jelas di badan pompa bensinnya
Konsumen berhak mendapatkan 3 S : Senyum. Sapa dan Service (lhoh bahasanya kok campur-campur?). Lupa saya S yang ketiga. Sarapan? :P
Sementara di Shell dan Petronas lebih riil dengan memandikan kaca depan.

Service Oriented.
Atau kata Tizar : Serpis orienteit.

Bulan lalu saya ke bengkel Mitsubishi karena mendapatkan tetesan oli di lantai garasi. Padahal seminggu sebelumnya saya habis tune-up di bengkel itu. Saya jelskan ke kepala mekanik bahwa mungkin ada packing yang bocor. Tolong dicek semua yah…yah…yah…?
Setelah satu setengah jam mobil saya selesai dan si Mas Kepala Mekanik (pakai huruf kapital karena nama jabatan) bilang :
o/o : “Sudah selesai pak, dibawa aja”
x/x : “Lhoh? Gak bayar?” (tumben)
o/o : “Iya pak, mohon maaf. Minggu lalu waktu bongkar packing, montirnya salah pasang gasket baru, jadi melintir dan pecah sehingga olinya nyemprot keluar”

Baiklah saya maafkan selama diganti baru lagi.
Senengnya kalau semua bisnis layanan mengutamakan kepuasan konsumen.
Itu juga yang mungkin dilakukan di bak truk yang melaju di tol Kebon Jeruk beberapa waktu lalu. Iya kali ya?
Disana ada tulisan :
“Bila sopir ugal-ugalan, telpon simbok di kampung”

Superb!