Thursday, June 15, 2006

“Wake up, Mister!” – double frozen Frappucino

Dulu waktu pertama nyemplung di industri ini, saya sering bingung dengan apa sih yang dimaksud dengan ‘ice breaker’, ‘renewal’ atau ‘rejuvenation’ ?
Kok sebentar-sebentar pak Bos dalam brainstorming ngomong tentang produk yang berfungsi sebagai ice breaker. Atau kopi yang bisa renew your mood. Apa seeeh…?
Another marketing gimmick? Advertising bluff?
Kok kayaknya istilah-istilah tadi sakti benar.
Sewaktu jadi graphic designer di perusahaan kosmetik dulu kok nggak ada ya istilah ini?

Halllaaaaah.
Ternyata saya menjumpainya saat mengantre di ruang tunggu dokter gigi pada sebuah kejadian yang sangat simple.
Bapak di seberang saya menyodorkan permen mint ke bapak satunya setelah hampir setengah jam saling berdiam.
Ternyata arti ‘ice breaker’ adalah mencairkan kebekuan, karena setelah itu mereka berdua ngoceh ngalor ngidul lupa kalau sebentar lagi pak dokter akan ngebor lubang gigi mereka dengan suara yang khas itu.

Lantas ‘renewal’ dan ‘rejuvenation’?

Halllaaaaaah.
Ternyata artinya nggak jauh-jauh dari pengertian “mak byaar!” yang saya dapati saat jam 3 sore minum kopi sebelum membiasakan diri badai otak (brain storming-red :P).
“Mak Byaar” saya tadi serasa melihat sudut-sudut pemikiran yang tadi tumpul menjadi runcing-runcing dan sensitive. Mendadak saya jadi outspoken untuk berpartisipasi dalam badai otak (brain storming–red2 :P) tadi.
Apakah sel-sel otak saya mengalami regenerasi hanya dengan minum kopi tadi? Wallahualam.
Mungkin benar, cuma marketing gimmick. Rekayasa.

Setelah karir saya beranjak dewasa –maksutnyaaaa?- saya masih sering nervous menjelang presentasi besar saat pitching. Untuk itu saya selalu memilih diam sepanjang perjalanan dari kantor ke tempat klien. Me’rejuvenate’ sel-sel otak. Kata siapa?
No one. It just another advertising bluff.

Suatu ketika saya bersama team menghadapi emergency pitch presentation. Waktu yang semula disediakan 1,5 jam mendadak dirubah menjadi 45 menit. Maksut loo…?
Teman-teman sebelum saya sudah speed up habis-habisan dan mungkin kasihan sama team-nya yang akan kehabisan waktu.
Presentasi kreatif selalu menjelang terakhir bukan? Dan saya belum juga tahu musti bagaimana dengan materi sebanyak itu.

Jreng, jreeng…
Kalimat pembukaan saya ketika giliran saya tiba adalah :
“Terimakasih. Mudah-mudahan saya mampu berbicara secepat teman-teman saya tadi”
Mendadak….geeerrrrrrrrr….15 orang calon klien tertawa melihat kebodohan ini.
Dan saya mentertawakan diri saya sendiri. That was an ice breaker, kata saya dalam hati.

Kali lain saya buka sesi saya dengan :
“Terimakasih. Mudah-mudahan ini presentasi yang ditunggu-tunggu dari tadi”
Atau :
“Bismillah”

But hey… it works!
Wake up, Mister! You follow me?

Monday, June 12, 2006

“Friends of homeless people” – End of the trilogy

Sardi adalah penjaja es dawet (es cendol – Jkt) di pinggiran jalan raya ke arah sumber bencana.
“Saya anu Mas… malah setres kalau di rumah. Rumah saya habis roboh tinggal empat tiang kayu jati yang berdiri”
Saya diam mendengarkan.
“Tetangga-tetangga ya ambruk semua. Makanya saya jualan saja terus”

Saya perhatikan ekspresinya.
Dia tidak membandingkan penderitaannya.
Tidak ada comparative misery, bahwa yang dia alami lebih shocking dari yang lain.
Yang ada, semua orang mengalami hal yang sama beratnya.

Itu seminggu setelah kejadian.
Sehari sebelumnya Sultan mengatakan : “Mari bangkit. Yang profesinya petani segeralah ke sawah lagi, yang pedagang segeralah jualan ke pasar, yang pegawai segeralah masuk kerja…”
Kira-kira isinya agar tidak duduk tepekur di depan tenda merenungi nasib dan menunggu bantuan.

Saya diam mencocokkan.
Agaknya sikap ‘nrimo’ suku Jawa ini sudah dikonversikan menjadi enerji positif. Setelah semua menyadari penderitaan dan melihat sekeliling, maka esok harinya masing-masing menggeliat.
Mereka menerima kenyataan - satu hal yang sangat tidak mudah dilakukan dengan peristiwa itu.
Semua sudah kembali ke NOL. Dan mereka aware !
Dan sesudah nol harus ada 1-2-3-4-5-6-7-8 dan seterusnya sampai angka tak terhinga.

Terbukti Minggu pagi kemarin.
Jam 7:30 terdengar ‘announcement’ dari TOA di menara masjid untuk segera berkumpul kerja bakti. Yang menarik dari ‘halo-halo’ kemarin adalah : “… kerja bakti dimulai dari rumah pak Anu, setelah selesai nanti giliran ke rumah pak Anu2 ke Utara, dan seterusnya”.
Dan mulailah mereka bekerja.

Belief bahwa rejeki itu sudah ada yang menata, membuat mereka tidak kawatir hari itu akan makan apa. Sudah ada ‘Event Organizer’ nya dari mana, entah. Nyatanya selalu ada gerakan diam-diam yang mensuplai makanan hingga kebutuhan pakaian dalam tanpa seremonial dan ‘news coverage’.
Siangnya datang bertruk-truk semuanya laki-laki tanpa pamrih apa-apa, dari arah utara yang kemudian berpencar di perempatan besar menuju lokasi tugas yang sudah dibagikan.
Geruduk – rempug – done!
Seperti gerilya yang berpindah-pindah, dan malamnya mereka duduk berkerumun menyaksikan Piala Dunia. Horeee… Goooooooll ! Ibu-ibu membuat kopi dari belakang tendanya.

Syukurlah masih ada TV.
Mensyukuri penderitaan? Dengarlah kata mas Yoni : “Sini dik nonton bola. Rumahku sekarang dindingnya transparan”.
Dia tidak bercanda. Tapi yang pasti dia mengatakannya dengan ceria.

Besoknya di week-end itu saya ketemu teman lama.
“Piye keluargamu?” tanya saya.
“Slamet kabeh”
“Omah?”
“Omahku yo ambruk, ning yo akeh kancane”
“- - - -“
Saya merangkulnya.

Tuhan adalah Event Organizer dari semuanya.