Monday, November 27, 2006

The Great Oral-tor – The sour pil-kada

Udah berapa tahun ya jadi Golput? Rasanya hepi-hepi aja kok.
Daripada merelakan ketidak sepahaman menjadi superioritas, kan?
Cukup sudah melihat orator memuakkan dan euphoria pelaku politik nir-kompetensi lengkap berikut antek-antek pemuas orde sebelumnya.
Artis sinetron jadi anggota dewan? Pengin jadi Gubernur? Please deh, mendingan nulis blog narsis-narsisan aja.

Saya setuju dengan Gus Pur (tokoh parodikal Gus Dur di News.com setiap Senin) yang bilang : “Kalau mau pemilu aja inget. Giliran sama janji-janjinya, lupa!”

Atas persetujuan dengan opini itu, maka pergilah kemarin ke tenda Pilkada (kasihan pak RT yang sudah membagikan kartu).
Setelah menunggu 5 menit (pengalaman baru, kirain berjam-jam!) dikasihlah kartu suara (meskipun kartunya mute) untuk dicoblos.
Ada 4 pasang kandidat Gubernur di sana. Silahkeun pilih demi demokrasi.
Atau coblos semua demi konsistensi Golput.

Done!
Smile pak RT, smile…
Go home good citizen.
Fill the hope for better future.

Off the record (whispering) :
Saya nyoblos no. 1 karena gambarnya paling hi-res !

Tuesday, November 07, 2006

“Culture Dilemma” – What the hell is that?

Berapa kalikah kita dalam sebulan memakai batik? Oke, dalam setahun deh. Buat karyawan BUMN mungkin bisa seminggu sekali, tapi buat karyawan industri yang menghalalkan celana tiga perempat, dua perdelapan, empat perlima atau duapuluh satu per duapuluh tujuh buat ke kantor seperti ini, coba deh di cek di lemari masing-masing ada berapa lembar baju batik?
Atau berapa minus lembar batik yang ada :P

Aku punya beberapa. Tapi belum tentu dalam setahun aku pakai beberapa kali. Karena dalam setahun belum tentu ada beberapa undangan kawinan, kalau toh ada aku lebih suka pakai jas biar tampang aku yang murahan ini sedikit terlihat lebih mahalan. Wajar dong.

Nah masalahnya minggu depan ada kawinan sepupu di Kalimantan.
Seketika yang muncul di kepala adalah isu cross culture.
Artinya, konsep memakai jas Armani atau Hugo Boss (kalau punyaaaaa…) harus cepet-cepet ditanggalkan. Ini masalah identitas.
Kultur Jawa yang melawat ke Samarinda, jadi ya musti jelas konsep kunjungannya.

Maka jatuhlah pilihan ke… batik.

Masalahnya aku memilih untuk tidak memakai batik yang sudah ada, artinya ya harus beli baru.
Maka jadinya…belanja batik.
Alangkah mudahnya belanja batik di Yogya, tinggal ke Mirota Butik pasti nemu batik modern.
Di sini setelah browsing hari pertama, dududuuduuuuu….ternyata harganya tidak murah. Banyak sih yang murah, tapi ini kan masalah kunjungan budaya.
Sekali lagi kultur Jawa melawat ke Samarinda.
Konsep kunjungannya adalah : menghargai yang dikunjungi.
Masak pakai batik apa adanya? Yang sekedar cap-capan soga coklat? Kok rasanya nggak menghormati tuan rumah.
Di sinilah kata-kata : “Dasar Jawa loo…” keluar.
Di sisi lain aku bangga bahwa apresiasi terhadap batik tidak selamanya dihargai murah.
(Meskipun Obien berusaha membuatnya terjangkau. Tapi ini kan bukan batiknya Obien?)


Browsing hari pertama berakhir dengan sebuah dilemma baru. Beli batik atau beli AC ya? Lah?!

Kemudian diikuti dengan beberapa ‘excuses’, sangat predictable.
Ah, pakai yang lama aja gakpapa deh, itu kan juga silk.
Tapi yang di toko itu lhoh warna yang bener.
Ungu pastel dan biru gelap dengan craftsmanship prima pada aksen-aksennya membuatnya sebagai karya seni yang final.
Jadi ini masalah komposisi warna.
Ini juga masalah disain.
Dan masalah fine texture.
It reflects culture, for sure.
It’s a piece of art !

Damn.
Hari kedua diputuskan untuk membeli yang kemarin!

* Learning :
1. Nggak ada kompromi untuk sebuah kualitas
2. Jancuk, kayaknya gajiku kurang deh….(sigh).

Thursday, October 12, 2006

Speak on the bump – the Tubruk never die

Menempuh 1 jam perjalanan setiap pagi dengan route yang itu-itu saja (atau kalau toh bisa menghindari rute yang itu-itu saja, pasti ketemunya juga di situ-situ saja), bukan hal yang selalu mengenakkan.

Bersandar di jendela sambil dengerin musik kok jadinya kalau nggak mellow malah kayak itu lho sopir angkot yang selalu pegang stir dengan tangan sebelah sementara tangan satunya menopang badannya yang nggak niat itu ke jendela.
Dulu saya punya penghiburan dengan membaca ekspresi arus bawah (baca : kelompok rawa – red) yang seringkali insightful, entah itu di kaca Kopaja, Metromini atau bak belakang truk.

Perlombaan menemukan ekspresi lucu setiap pagi dan SMS ke kelompok terbatas yang punya sense of humor sama memang menghibur sekaligus meng-upgrade level of humor ke tingkat yang lebih advance (mulai absurd nih…).
“Ada truk ngangkut singkong. Di bak belakang ditulis ‘Singkong’. Redundant. Nyinyir” bunyi SMS saya ke teman-teman.
“Kayak iklan bank (tiiiiiittttt…) gambar lebah ngerubuti botol cairan kuning tulisannya madu” kata teman lain.

(Ah jangan bahas iklan deh. Bosen, kayak milis).

Karena nggak ada yang menarik, ya sudah saya menikmati kemacetan dengan menatap punggung mobil di depan saya baik-baik.
Di sanalah saya menemukan pembicaraan lanjutan:

>> “Stiker National Geographic di kaca belakang mobil lebih elegan dibanding Apple” - SMS saya ke beberapa teman.
>>“Yo jelas no (ini pasti logat kedaerahan tertentu :P), pemerhati sekaligus donatur segala macam riset menguak rahasia alam. Sementara Apple sudah bias dengan para muggle sok gaul pemakai iPod” - reply seorang teman dengan antusias.
>>“Kemarin liat stiker When Smith & Wesson talk, people listen” - balas teman yang lain.
>>“Hahahahaa…itu mah gak listen lagi. Gone!” - kata saya.

Lantas sisa perjalanan saya pakai untuk mengamati stiker yang macem-macem.
Ada stiker singa Taman Safari. (Pasti orangnya cinta keluarga)
Di mobil lain ada stiker emoticon senyuman. (Oh itu yang dikasih di pintu tol minggu lalu. Kampanye ‘tetap senyum’).
Ada stiker Tunas Mobil. (Kredit ya mas? Sama dong tapi punya saya udah lunas :P).
Ada lagi stiker Harley Davidson. (Hmmm…ya ya ya… Next!)
Ada stiker Allah itu penuh kasih. (Dan kasih itu lemah lembut dan panjang sabar kan Bos?)
Ada juga stiker Baby on Board. (Nah yang ini kadang-kadang nipu. Mana baby nya? Mungkin pengiiin banget punya baby. Semoga cepat tercapai).
Ada stiker No Fear. (Tough guy? Ah itu mah stiker lama dari kaki lima).
Di tikungan ada angkot putih stikernya Sukoharjo Makmur. (Pasti sopirnya bangga dengan daerahnya di selatan Solo sana).
Ada Avanza stikernya BSD City. (Itu mah tetangga narsis).

Teman lain bilang bahwa “Wah ternyata stiker bisa jadi marketing personality ya…”.
Memang. Paling tidak ada attachment terhadap subject tertentu.

Sewaktu saya menempel Apple di kaca belakang, waktu itu saya merasa ‘cool’ karena masuk dalam komunitas pemakai Macintosh (meskipun dibeliin kantor – ora urusan!).
Tetapi sewaktu nyuci mobil di bengkel dan tau-tau ditempelin stiker bengkel itu, rasanya kesel banget. C’mon, you ndak bayar saya buat media ek-lan (sering dibaca ‘iklan’ – red :P) you punya bengkel haaa.. enak aja nempel-nempel stiker. Jelek lagi.

Sticker is for reason(s), indeed.
Satu jam perjalanan tiap pagi saya menemukan begitu banyak personality. Begitu banyak karakter.

There’re so much stories on the street.
Perhaps, it’s story for a commercial too.

Monday, October 09, 2006

When you deserve it, you will – Sour bean. Robusta

Kalau ditanya siapa penulis yang saya kagumi, pastilah beliau adalah Umar Kayam (alm). Karena dia Jawa? Bukan, karena saya juga mengagumi Iwan Simatupang yang bukan Jawa. Atau Mario Puzzo yang selalu menulis tentang Palermo dan Sisilia.

Dalam setiap tulisan Pak Kayam selalu ada penyederhanaan masalah dari sekian komplikasi problem yang ada.
Selalu ada pembelajaran dari kekaguman tanpa jadi membabi buta mengagumi sehingga lupa harus berbuat sesuatu yang mengagumkan juga.
Selalu ada ‘message’ dan sentilan agar segala sesuatunya berjalan proporsional.

Seorang teman lama dari negara tetangga pernah dengan antusias memberitahukan :

o/o : “Eh, I just got a new writer. She’s very brave. Award winning. She scares all client services. I am sure she’s gonna be a group head in the near future”
x/x : “Wow”
(Kata saya, meskipun sebenarnya saya sudah tahu, makhluk seperti apa writer yang dimaksud itu).
Dalam hati saya sebenernya juga bertanya-tanya kenapa harus nakutin client service? Kalau kita main pingpong dan lawan main kita takut, apakah kita akan mendapatkan umpan bola yang baik?

Tapi saya diam saya, wong nggak disuruh komentar kok.

Tiga bulan kemudian saya ketemu lagi teman tadi dalam forum yang sama. Kali ini saya yang bertanya duluan :
x/x : “How’s your writer? Is she doing great?”
o/o : “Well…you know when you think you have achieved something but actually you have not?”
(Saya garuk-garuk kepala, agak nggak mudeng. Mungkin karena ngomongnya bahasa Inggris :P)
o/o : “That’s her!”
x/x : “Owws…”
(Saya tidak bilang kalau sebelum direkrut dia, sebenarnya yang bersangkutan sudah saya tolak karena persis seperti yang teman saya katakan tadi. Hanya saja entah kenapa saya mendeteksinya lebih awal).

Saya jadi ingat tulisan Pak Kayam tentang interaksinya dengan sopir sekaligus ‘ajudan rumah tangganya’ mengenai posisi jabatan yang ‘di advanced’ karena keterburu-buruan seseorang kepingin menjabatnya.
Seseorang dengan angle yang sempit merasa bahwa dia mengetahui lebih banyak, padahal jabatan yang ingin didudukinya mengharuskan kemampuan dia untuk menghandle krisis lebih banyak.

Wednesday, September 27, 2006

“Eight times movie time” – Thieves professional forum

Aku hitung udah delapan kali nonton film ini dan kalau toh mau nonton hingga ke tujuhbelas kali aku yakin nggak akan bosan.
HBO aja sampai bulan ini udah re-run mungkin 6 kali.
Nonton DVD bajakan sampai scratch di sana-sini, kok ya tetep menarik.

‘The Italian Job’ adalah :
Pertama, Mini versi baru (waktu itu) yang hemmm…kapan ya?
Kedua, casting yang balance komposisinya
Ketiga, individual karakter yang porsinya pas
Keempat, mobilnya itu lho… Lah kan udah disebutin?! Keempat adalah teknik. Teknik mencuri – artinya smartness
Kelima, loyalitas profesi dan pertemanan
Keenam, pengkhianatan dan keserakahan
Ketujuh, elegance balas dendam

Kedelapan, konflik batin
Kesembilan, signal ketertarikan yang sangat subtil
Kesepuluh, berapa ya harga mobilnya…haiyah! Kesembilan adalah film directing, meskipun tidak luar biasa tapi film ini excited untuk ditonton, meskipun udah dari tahun kapan tauk.
Kesebelas, profesionalisme dan komitmen
Keduabelas, passion dan attention to detail calculation
Ketigabelas, (kok kayak gaji?) fairness dan gentlement attitude
Keempatbelas, perfect time management
Kelimabelas, long lasting excitement
Keenambelas, coolness
Ketujuhbelas, teteeuup…mobilnya!

Monday, September 18, 2006

“Skully Blues” – Not bad pals! Not bad at all.

Kok mendadak ada gulungan bendera putih di mejaku?
Emang siapa yang menyerah? Perasaan aku gak punya musuh…
Atau ada yang mati? Aku belum pengin mati. Masih banyak pe-er.
(celingukan)

Oh ada memonya dari President (+Director) :
‘Untuk dibawa nanti malam, di print logo kita’
Di print? Setau aku tukang sablon terdekat di Jalan Benhil deh …

o/o : “Whoooee… ayo ini siapa yang mau bawa bendera nanti malam?
Terserah mau diapakan, nih… dikasi pak President (+Director)”
x/x : “??”
o/o : “!!”
x/x : “…??!”
xxx/xxx : “digambarin tengkorak aja ya Mas?”
o/o : “ah akhirnya ada yang ngerti”
(padahal maksud sebenernya : asal bukan logo perusahaan)
xxx/xxx :”:P”
x/x : “:D :D :D”
o/o : “yang rapih ya”

Srooot…srooot…srooot

Malamnya.
Tengkorak dipanggil maju 8 kali plus beberapa kali finalist.
You did it guys, you did it !!

* ngomong apa sih ini? … sigh

Tuesday, September 12, 2006

That “Sometimes” is true – 2 cups of black Arabica on the side walk

“Sometimes the highest learning must be found in the ground beneath your feet”
Kalimat itu ada di cover sebuah DVD film Thailand ‘Tin Mine’

Entah kenapa ya belakangan ini saya ‘tune in’ banget pada setiap hal yang bernada atau mengandung muatan ‘kearifan lokal’. Pada cerita-cerita yang terjadi di pelosok ujung kampung sana atau kejadian yang membukakan mata di lereng gunung yang tidak mungkin terjangkau BTS provider selular manapun.
Bukan pada keharuman para metrosexual di hemmmm…metropolitan.

Pada cerita yang sama sekali tidak funky atau jauh dari yang namanya ‘cool’. Bahasa gamblangnya ya ‘NDESO’ itu.
But I think it’s not about being funky. It’s about daring to be original. Or even more…being essential.

Dengarlah alasan pedagang angkringan di Jl. Mangkubumi Yogya yang menolak gerobaknya dibeli oleh juragan lain, semata-mata hanya karena :”Terus nanti kalau dibeli semua, bagaimana dengan Pak Anu yang biasa datang ngobrol tiap malam Jumat ke sini? Atau mahasiswa kost sebelah itu yang tiap malam beli nasi bungkus dan ngutang rokok ke sini? Nanti mereka nggak kebagian?”

Oh-my-God-!
That was nothing to do with funkiness, indeed.
Nggak ‘cool’ sama sekali.
But I call it ‘pure’

Pada saat pengin menulis cerita bualan mengenai hal-hal seperti itu kok ya tiba-tiba mas Amrin secara intensif mengajak kerja bareng.
“Mari kita bikin sesuatu yang absurd” katanya.
Kok ya selalu saja saya merasa belum siap.
Padahal mengutip headline iklan teman di Yogya, bukankah “Siap nggak siap harus siap?”
Bukan apa-apa, hanya karena pengin aja rasanya melakukan yang benar dan bagus, sebagus-bagusnya. Dan minimum eror (djarot :P)
Salah satu guru dulu bilang “Ok, if you want to do, let’s do it right”
Bukan jadi penulis instant, pelukis mendadak, pembuat film sore pesan besok jadi (kayak penjahit Hariom di Pasar baru deket kantor dulu).
Tapi “Let’s do it right” itu kok mengganggu banget dan pelan-pelan jadi obsesi.

(… keluh)

Thursday, August 31, 2006

Brick through, indeed – breaks the wall, in fact.

Siapa bilang tikus suka makan keju.
Ternyata itu cuma ada di filmnya Disney, Pixar aja nggak gitu.
Keju segitiga bolong-bolong ditaruh di depan lubang tikus di lantai.
Ah, ternyata grafis doang.

Nyatanya sejak seluruh penghuni rumah ribut ada satu tikus masuk ke oven, dipasangin keju dan jebakan berkali-kali masih juga utuh.
Sampai datengin montir oven berkompor (atau kompor ber-oven) untuk membongkar segala sudut, si tikus juga masih bisa berkelit.

Darimana datangnya tikuuuuuss….?
Nah itu pertanyaan yang mengenaskan.
Bagaimana mungkin rumah dengan sanitasi sedemikian ini ada tikusnya? (Mulai deh…)
Kalau nyamuk sih iya, maklum banyak tanaman.
Lah tikus?

Sampailah pada suatu malam.
Bayangan kecil mengendap-endap dinding belakang mengusik orang lagi nonton tattoo di Miami Ink.
Haaaah? Tikus!
Nongol dari batu bata yang diekspos di tembok belakang.
So, you must be an expatriat, huh?
(pokoknya setiap pendatang asing kasih nama aja 'expatriat')
Beraninya ‘coming from behind’ tembok.
Padahal di belakang tembok ada pura kecil tempat persembahyangan tetangga belakang yang orang Bali itu.
So, you must be an expatriat bastard, huh?!!
Stepping on a pura, screw up the whole things.

Hari ke empat tikus itu nongol sekilas di dapur. Weeeits….!
Hilang lagi. Oke deh, hide and seek.
Hari ke enam, tiba-tiba yang bersangkutan lari melintas ruang tengah dengan pede-nya. Waaaa… ini dia, no excuse.
Ingat di laci ada Glock dan gas setengah kaleng dengan BB bullets seplastik utuh.
Glock pestol Swedia itu masih ber-gas penuh dan siap ditembakkan.
Kalau gak mampus keterlaluan, at least matanya bolong.
Bang! Bang!
(Nggak kena! Anjrit!)
Yang bersangkutan lari ke bawah sofa.

Oke, mana senternya?
Dengan ngelosor di lantai - very low angle dengan flash light, keliatan yang bersangkutan matanya mencorong di bawah sofa.
Belum sempat dibidik, tiba-tiba yang bersangkutan lari sekencangnya lurus ke arah mata yang mendatar di lantai, kayak crash zoom-in kenceng banget.
Bang!
Sebelum menabrak muka, yang bersangkutan lari membelok kayak mobil lagi slalom (slalom kecantikan, haiyah!).
Kayaknya sih, kayaknya… yang bersangkutan terkena tembakan BB bullet (BB=bener-bener bulet).
Larilah dia terpincang-pincang (karena kayaknya kena sih, tapi kok masih bisa lari ya?), nyusup ke dapur entah ke mana.
(Silent. Penonton kecewa).

Untuk amannya nih…diracun aja.
Untuk amannya lho.
Maka dipasanglah racun yang bisa mengeringkan tubuh yang bersangkutan kalau memakannya. Bukan dengan umpan keju.
Catat, tikus nggak doyan keju!

Hari berikutnya ada kabar bahwa yang bersangkutan terkulai di pot anggrek tapi belum mati dan masih bisa jalan tapi pelaaan… banget.
Langsung kebayang kartun Disney, ada tikus yang jalan pelan bawa bungkusan di tongkatnya dengan kaki diikat perban dengan tampang memelas dan keringat mengucur.
Kasihan.
Haiyah, gak boleh mellow.
He (or she?) must be an expatriat bastard who came from behind the wall tresspassing the bricks.
He (or she?) ruins my neighbor's ritual – they’re Balineses you knoooouw…!

And that kind of smuggler expatriat must die.

* untung ditembak gak kena (untung teruuuusss…)

Thursday, July 27, 2006

“There always something to RMB” – Decaf movie?

o/o : “There’s a monster outside my room. Can I have a glass of water?”
x/x : “What’s wrong with the glass of water next to your bed?”
o/o :
“It tasted old”
(Bo Hess kecil itu masuk ke kamar ayahnya setelah alien diduga datang – The Signs)

“I see dead people. They don’t know they have dead”
(Cole akhirnya menceritakan rahasia indera keenamnya ke dr. Malcom Crowe – The Sixth Sense)


“I slipped…”
(Noodles memeluk kawan kecilnya yang ditembak Buggsy – Once Upon a Time in America)

“I came about the ad”
(Louison, saat melamar pekerjaan pada butcher sambil menyodorkan guntingan iklan – Delicatessen)

Selalu ada ‘quote’ yang recallnya tinggi dalam setiap film. Selalu ada scene yang memorable.
Whaaaat? Memorable?
“I came about the ad”
Sik to…sik to…sabar…
Jadi Louison jauh-jauh datang nyari kerjaan dengan mobil busuknya yang akhirnya mogok didorong dan harus dibayar dengan sepatu Balley itu karena iklan?
Hebat bener itu iklan. Kalau Louison (yang diperankan dengan jempolan oleh Dominique Pinon) nggak baca iklan lowongan kerja, mustinya ceritanya nggak akan begitu.

Dengan gelagapan saya mengingat-ingat deretan iklan yang pernah saya buat atau – at least – yang saya terlibat.
Jangan-jangan nggak ada yang memorable.
Wadoooooh…

Thursday, June 15, 2006

“Wake up, Mister!” – double frozen Frappucino

Dulu waktu pertama nyemplung di industri ini, saya sering bingung dengan apa sih yang dimaksud dengan ‘ice breaker’, ‘renewal’ atau ‘rejuvenation’ ?
Kok sebentar-sebentar pak Bos dalam brainstorming ngomong tentang produk yang berfungsi sebagai ice breaker. Atau kopi yang bisa renew your mood. Apa seeeh…?
Another marketing gimmick? Advertising bluff?
Kok kayaknya istilah-istilah tadi sakti benar.
Sewaktu jadi graphic designer di perusahaan kosmetik dulu kok nggak ada ya istilah ini?

Halllaaaaah.
Ternyata saya menjumpainya saat mengantre di ruang tunggu dokter gigi pada sebuah kejadian yang sangat simple.
Bapak di seberang saya menyodorkan permen mint ke bapak satunya setelah hampir setengah jam saling berdiam.
Ternyata arti ‘ice breaker’ adalah mencairkan kebekuan, karena setelah itu mereka berdua ngoceh ngalor ngidul lupa kalau sebentar lagi pak dokter akan ngebor lubang gigi mereka dengan suara yang khas itu.

Lantas ‘renewal’ dan ‘rejuvenation’?

Halllaaaaaah.
Ternyata artinya nggak jauh-jauh dari pengertian “mak byaar!” yang saya dapati saat jam 3 sore minum kopi sebelum membiasakan diri badai otak (brain storming-red :P).
“Mak Byaar” saya tadi serasa melihat sudut-sudut pemikiran yang tadi tumpul menjadi runcing-runcing dan sensitive. Mendadak saya jadi outspoken untuk berpartisipasi dalam badai otak (brain storming–red2 :P) tadi.
Apakah sel-sel otak saya mengalami regenerasi hanya dengan minum kopi tadi? Wallahualam.
Mungkin benar, cuma marketing gimmick. Rekayasa.

Setelah karir saya beranjak dewasa –maksutnyaaaa?- saya masih sering nervous menjelang presentasi besar saat pitching. Untuk itu saya selalu memilih diam sepanjang perjalanan dari kantor ke tempat klien. Me’rejuvenate’ sel-sel otak. Kata siapa?
No one. It just another advertising bluff.

Suatu ketika saya bersama team menghadapi emergency pitch presentation. Waktu yang semula disediakan 1,5 jam mendadak dirubah menjadi 45 menit. Maksut loo…?
Teman-teman sebelum saya sudah speed up habis-habisan dan mungkin kasihan sama team-nya yang akan kehabisan waktu.
Presentasi kreatif selalu menjelang terakhir bukan? Dan saya belum juga tahu musti bagaimana dengan materi sebanyak itu.

Jreng, jreeng…
Kalimat pembukaan saya ketika giliran saya tiba adalah :
“Terimakasih. Mudah-mudahan saya mampu berbicara secepat teman-teman saya tadi”
Mendadak….geeerrrrrrrrr….15 orang calon klien tertawa melihat kebodohan ini.
Dan saya mentertawakan diri saya sendiri. That was an ice breaker, kata saya dalam hati.

Kali lain saya buka sesi saya dengan :
“Terimakasih. Mudah-mudahan ini presentasi yang ditunggu-tunggu dari tadi”
Atau :
“Bismillah”

But hey… it works!
Wake up, Mister! You follow me?

Monday, June 12, 2006

“Friends of homeless people” – End of the trilogy

Sardi adalah penjaja es dawet (es cendol – Jkt) di pinggiran jalan raya ke arah sumber bencana.
“Saya anu Mas… malah setres kalau di rumah. Rumah saya habis roboh tinggal empat tiang kayu jati yang berdiri”
Saya diam mendengarkan.
“Tetangga-tetangga ya ambruk semua. Makanya saya jualan saja terus”

Saya perhatikan ekspresinya.
Dia tidak membandingkan penderitaannya.
Tidak ada comparative misery, bahwa yang dia alami lebih shocking dari yang lain.
Yang ada, semua orang mengalami hal yang sama beratnya.

Itu seminggu setelah kejadian.
Sehari sebelumnya Sultan mengatakan : “Mari bangkit. Yang profesinya petani segeralah ke sawah lagi, yang pedagang segeralah jualan ke pasar, yang pegawai segeralah masuk kerja…”
Kira-kira isinya agar tidak duduk tepekur di depan tenda merenungi nasib dan menunggu bantuan.

Saya diam mencocokkan.
Agaknya sikap ‘nrimo’ suku Jawa ini sudah dikonversikan menjadi enerji positif. Setelah semua menyadari penderitaan dan melihat sekeliling, maka esok harinya masing-masing menggeliat.
Mereka menerima kenyataan - satu hal yang sangat tidak mudah dilakukan dengan peristiwa itu.
Semua sudah kembali ke NOL. Dan mereka aware !
Dan sesudah nol harus ada 1-2-3-4-5-6-7-8 dan seterusnya sampai angka tak terhinga.

Terbukti Minggu pagi kemarin.
Jam 7:30 terdengar ‘announcement’ dari TOA di menara masjid untuk segera berkumpul kerja bakti. Yang menarik dari ‘halo-halo’ kemarin adalah : “… kerja bakti dimulai dari rumah pak Anu, setelah selesai nanti giliran ke rumah pak Anu2 ke Utara, dan seterusnya”.
Dan mulailah mereka bekerja.

Belief bahwa rejeki itu sudah ada yang menata, membuat mereka tidak kawatir hari itu akan makan apa. Sudah ada ‘Event Organizer’ nya dari mana, entah. Nyatanya selalu ada gerakan diam-diam yang mensuplai makanan hingga kebutuhan pakaian dalam tanpa seremonial dan ‘news coverage’.
Siangnya datang bertruk-truk semuanya laki-laki tanpa pamrih apa-apa, dari arah utara yang kemudian berpencar di perempatan besar menuju lokasi tugas yang sudah dibagikan.
Geruduk – rempug – done!
Seperti gerilya yang berpindah-pindah, dan malamnya mereka duduk berkerumun menyaksikan Piala Dunia. Horeee… Goooooooll ! Ibu-ibu membuat kopi dari belakang tendanya.

Syukurlah masih ada TV.
Mensyukuri penderitaan? Dengarlah kata mas Yoni : “Sini dik nonton bola. Rumahku sekarang dindingnya transparan”.
Dia tidak bercanda. Tapi yang pasti dia mengatakannya dengan ceria.

Besoknya di week-end itu saya ketemu teman lama.
“Piye keluargamu?” tanya saya.
“Slamet kabeh”
“Omah?”
“Omahku yo ambruk, ning yo akeh kancane”
“- - - -“
Saya merangkulnya.

Tuhan adalah Event Organizer dari semuanya.

Wednesday, June 07, 2006

“Sponsorship Disaster” – Forgive me. I wasn’t welcome you

Jam 8.15 hari kedua bencana itu.Semua baru merasa lapar setelah kemarin seharian tidak bersentuhan sama sekali dengan makanan. Dengan motor bebek yang masih tersisa, dicarilah yang namanya makanan itu (apapun bentuknya) sampai ke pinggiran utara kota.
Sungguh bukan hal mudah karena semua orang punya derita yang sama. Tidak ada toko, warung apalagi restoran yang buka.
Semua puing. Begitu juga hati semua orang yang berkeping.
Dan bentuk dari ma-kan-an itu belum juga kelihatan.

Tiba-tiba seorang teman yang aktifis partai kirim SMS :
“Apa kabar teman2, bantuin dong nyari nama/thema untuk membantu Yogya…dst dst”.
Mendadak saya jadi sensitive dan (maaf) tersinggung membaca pesan itu. Begini saya membalasnya :
“Sebenarnya tanpa thema dan namapun, kalau mau membantu akan kami terima dengan syukur luar biasa”
Dan jawabnya :
“Hehehe…namanya juga kepentingan partai politik”
(Apa yang bisa diperbuat selain mengelus dada?)

Dan bentuk dari makanan yang sedari tadi belum juga kelihatan meskipun sudah mulai ke luar kota. Semua kelaparan.

Siangnya mendadak jalan raya macet total dengan mobil-mobil berbendera partai yang menderu-deru. Dengan penumpang yang gagah perkasa menyingkirkan pemakai jalan agar bisa memacu ‘bala bantuan’. Ambulance yang semestinya diprioritaskan untuk berpacu dengan nyawa, dipaksa minggir. Alangkah gagahnya mereka.

Di televisi seorang selebriti sibuk mencetak kaos seragam dan membagi-bagikan kepada team bala bantuan dengan tulisan “Peduli Yogya”.
Semua berjajar gagah perkasa di depan kamera. Bersih dan seragam dengan ketawa renyah menuju medan bencana.

Maafkan saya. Sungguh, maafkan saya.
Karena saya tidak bisa menahan rasa jijik dan muak melihat ‘bala bantuan itu’
Bagi saya bendera, slogan, seragam atau brand sama sekali tidak berarti di saat semua harus berurusan dengan hidup-mati.
Semua berlaku generik.
Kembali ke esensi produk.
Makanan adalah untuk dimakan.
Obat adalah untuk menyembuhkan.
Bantuan adalah untuk menguatkan.

Brand? Slogan? Bendera?
Maafkan saya sekali lagi.
Itu istilah-istilah yang tiba-tiba menjijikkan.

“Old Days. Nowadays” – bunch of childhood memories

We built a house tree here. It called ‘architecture’ todayWe tied up a rubber swing for our first nephewWe spent our laugh and life hereI frame it all. Today

Sunday, May 21, 2006

There always an opening - Take a seat. Relax

She shivers in the wind like the last leaf on a dying tree.
I let her hear my footsteps.
She only goes stiff for a moment.
xlx : 'Care for a smoke?'
olo : 'Sure. I'll take one. Are you as bored by crowd as I am?'

Cut ! Who said you can smoke here, huh?
There's only ONE director on location.
Behave! ....and action!

xlx : 'I didn't come for the party.
I came here for you.
I've watched you for days.
You're everything a man could ever want.
It's just not your face.
Your...figure. It's your eyes.
All the thing I see in your eyes'.
olo : 'What is it you see in my eyes?'
xlx : 'I see crazy calm.
You're sick of running'
You're ready to face what you have to face?
But you don't want to face alone'
olo : 'No. I don't want to face alone'

The wind rises alectric.
She's soft and warm and almost weightless.
Her perfume is sweet promise that brings tears to my face.

I tell her that everything will be alright.
That I'll save her from whatever she scared of
and take her far... far away.
I tell her... I love her.

The silencer was a whisper at the gunshot.

I hold her close untill she's gone.
I'll never know what she's running from.
I'll cash her check in the morning.

____________

.... and Cut!
Check the gate.
**Bang! Bang!**

Whaat?? I said use silencer! Make it stylish, damn it.

**Bang!**
Whatever.
Okey guys, I've got enough
Am leaving the set.
(What an opening scene)