Wednesday, July 04, 2007

“Wet towel on the bed” – spilled robusta

“The beauty of staying in the hotel is….” begitu seorang film director yang mobilitasnya tinggi membuka pembicaraan yang langsung saya potong.
Saya tahu yang dia maksud. Saat kita meninggalkan kamar, semua dalam kondisi berantakan. Bathrobe di lantai (lho kok di lantai?), handuk di kursi, remote control entah di mana, celana terbang ke atas telpon dan sebagainya, dan sebagainya.
Pergi ya pergi aja. Dan sore hari begitu kita masuk kamar lagi, semua tertata bersih. Linen putih halus dengan matras yang kayaknya ambles kalau ditiduri (baca : ‘matras’ yang ditiduri –red), bathrobe sudah digantung di kamar mandi, handuk-handuk sudah baru, kamar berbau segar (baca : ‘non smoking room’ – red), bantal mengundang untuk ditiduri (baca : ‘bantal’ –red) dengan kuncup bunga teratai atau mawar putih di atasnya. Dududududuuuuuu…. deh pokoknya.

Padahal…
Ibu saya dulu selalu menjewer anak-anaknya kalau kami meninggalkan handuk basah di atas tempat tidur sehabis mandi dan berrr…pergi begitu saja. Dan kejadian itu terulang terus hampir setiap hari sampai kami dewasa.

Ya tapi begitulah mungkin esensi dari bisnis layanan, setelah dapat kamar, tinggal suks-suka, diberantakin, yang penting tidur lelap. Kalau toh ada yang ngerapiin ya itu tugas house keeper lah…

Apakah house keeper bisa tidur lelap?

Lelap kan merek obat untuk tidur berkualitas, paling tidak begitu kata iklannya. Kalau Diapet obat diare. Nah kalau Merit (slim : bhs. Jw) obat pelangsing. Terus apa hubungannya dengan handuk basah?
(Siapa bilang ada hubungannya?)

Menghubungkannya adalah… begitu banyak merek yang dibuat sedemikian gamblang menceritakan benefitnya, bahkan secara brutal menyingkat benefit itu menjadi merek. Diapet dari kata ‘diare mampet’, misalnya. Antangin short cut dari anti masuk angin. Atau Kurang Asem, Jesscool (anjrit!), dan sebagainya.
Ada satu merek namanya Geliga (saya lupa itu apa), singkatan dari ‘geli-geli juga’?
Mungkin suatu hari ada merek Meringis, Monyong, Kupret, Semut, Kerokan dan lain-lain yang siapa tahu beneficial buat produknya.
Terus bagaimana mengkomunikasikan agar merek itu tumbuh? Ya, itu tugas agency untuk menyingkirkan handuk basah, menyampirkan bathrobe hingga memberi sentuhan akhir bunga di atas bantal.
Pemilik merek kan penyewa kamar, yang menyewa berdasar klasifikasi jasa layanan dan harga.
Pernah ada seorang klien yang datang ; “Saya punya uang 2 milyar buat bikin produk pembersih lidah. Saya beri nama Tangkliner” (Tongue Cleaner – nah lo…ada lagi kan singkatan-singkatannya hehehe, dibilangin gak percaya).
Pak klien tadi tidak memikirkan sampai kapan mereknya akan dikembangkan. Bagaimana dia mikir, lha wong dia cuma mau invest 2 milyar aja kok. Begitu balik modal ya sudah, sukur-sukur laba dikit.
Tangkliner dibuat dengan stainless steel, berupa pelat tumpul yang melengkung huruf U, mengingatkan kita pada peralatan dokter-dokter jaman dulu yang dibakar dengan spirtus sebelum dipakai.
Dalam waktu dekat, merek-merek penerbit pasta gigi membuat produk sejenis dari plastik yang dijual jauh lebih murah dibanding stainless teel.
Bagaimana uang pak klien yang 2 milyar itu? Embuh!

Munghkin begitulah nasib merek-merek spontanitas yang tidak didisain hidup untuk jangka panjang, sehingga teori brand building nggak laku diaplikasikan. Yang laku adalah teori taktis berkelit mlintir elastis.
Bahkan beberapa merek sengaja dibunuh di perjalanan begitu melihat market mulai jenuh, dan si pemilik modal membuat merek baru, mungkin di kategori yang baru pula.

Dan para house keepers dengan rutin melakukan tugasnya, mengganti handuk basah yang ditinggalkan, mengganti linen bed spread yang lebih putih, menggantungkan bathrobe ke tempat semula, membuang kondom bekas (kalau ada) dan pura-pura tidak tahu apa yang terjadi semalam, menyiapkan bantal biar tetap fluffy, dan memberikan sentuhan bunga di aatasnya. Agar si penyewa jasa tinggal dengan nyaman dan hidup suka-suka.

Agak siangan sedikit, para house keepers akan mengetuk pintu untuk melengkapi isi mini bar, menambahkan coklat atau permen penambah gairah sambil bilang : “Have a good day, Mister”.

Ngomong-ngomong permen, teman saya seorang copy writer pernah mengajukan usulan merek permen yang spektakuler bernama : UNTALEN (telan dengan paksa).
Kapokmu kapan.

6 comments:

Bucin said...

hahahaha... sudah lama nungguin ulasan seperti ini akhirnya muncul kembali.

jadi gimana dong tanggung jawab si house keeper kalo ketemu guest yg ndableg kaya juragan tangkliner? apa musti wanti2, atow gimana?

oca said...

menurutku jadi terlalu sinis kalo dibilang para produsen sering ngasi nama produknya secara brutal.. bukan kah brand yang interpretasinya berbasis output ( salah satunya dari fungsi or benefit ) justru lebih cepat dipersepsikan punya nilai oleh konsumennya?
pun brand itu gak berumur panjang sepertinya yang salah bukan brandname, tapi pasti lebih ke brand managementnya..

satu lagi, kenapa jesscool dianj**tin?
maksuuuuut????

Unknown said...

UNTALEN jelas-jeas salah kalo buat permen, lebih tepat buat merk obat.

Seharusnya EMUTEN...

SQ

Stevie Sulaiman said...

Kangmas, mentang-mentang art-based nih... banyak salah ketik. Ntar kamarnya nggak rapi tamunya komplen lho. Wong dah rapi aja tamunya suka cari2 masyalah.

mister::G said...

Emuten itu kalo duduk kelamaan. Dan salah ketik itu untuk membuka lapangan kerja baru sebagai pruprider :P

Anonymous said...

cerita tangkliner itu kok nyambung dgn pengalaman saya, he he..
apa kabar Mas Gandhi, mgkn sdh lupa, kebetulan ketemu lagi blognya, seger...