Wednesday, May 30, 2007

"Adfest, salmon and chicken masala" - The most boring thing

Masih terngiang di benak saya beberapa tahun lalu, sewaktu seorang teman – pemilik agency di Jakarta- dengan berang berkata : “Masa’ sih kita nggak bisa menang di sini? Malu banget gue”.
Dia mengucapkan sambil mengunyah salmon yang mungkin terasa aneh di lidahnya, dan sesekali menyeruput Chardonnay yang mungkin lebih terasa aneh lagi.
Peristiwa itu terjadi di gala dinner Adfest, sebuah perhelatan komunitas intelektual advertising di garis regional Asia-Pacific, mulai dari Jepang ke New Zealand, dan dari Vietnam ke Srilanka di ujung sana.

Kepala teman saya tadi terus menggeleng-geleng sambil mengeluarkan kata “Masa’ sih” itu berulang kali. Pokoknya penuh gerundelan dan gerutu.
Setelah saya risih dengan ulahnya dan karena saya juga kepengin menikmati salmon aneh karena harganya yang 500 USD dengan alih-alih ikut Seminar dan sebagainya itu, saya bilang kepadanya :
“Makanya lu juga ikutan ngirim entry, siapa tahu menang”
Saya tahu persis teman saya itu tidak mengirimkan entry apapun, karena semua teman di industri ini mahfum kalau bisnisnya berada pada situasi ‘survival’.

Bagaimana bisa mengirim entry ke forum seperti Adfest kalau yang ada dibenaknya hanya billing yang cepat-cepat bisa ditagih ke klien untuk menggaji beberapa karyawannya, sementara kualitas outputnya dinomor sekiankan.
Mungkin nasib kawan saya tadi kurang beruntung.

Atau, barangkali nasib saya lebih beruntung. Paling tidak saya tidak perlu memikirkan bagaimana menggaji karyawan karena sayalah salah satu karyawan itu, sehingga sebenarnya lebih mempunyai peluang untuk menang di forum seperti Adfest. Yang celakanya hal itu tidak pernah terjadi.

Dari waktu ke waktu saya diam-diam mencatat dan membisikkan catatan saya itu ke tim internal saya di agency.
1. Bahwa eksekusi tidak kalah penting daripada ide. Sebuah keyakinan yang banyak ditentang teman-teman komunitas periklanan sendiri di Jakarta, yang sebenarnya tidak begitu saya pedulikan sampai akhirnya mereka mengakui sendiri betapa ide besar akan nihil tanpa didukung eksekusi yang prima.
Sayangnya pengakuan itu terjadi di Adfest tahun berikutnya. Jadi, ya tetap saja kalah.

2. Bahwa ‘size does matter’. Sebuah strategi mensiasati juri bahwa display print ad dan poster yang berukuran besar akan lebih dilihat dibanding dengan menempelkan proof print apa adanya di atas selembar karton yang ‘kiwir-kiwir’.
Beberapa teman di agency multinasional sangat menyetujui hal itu, karena mungkin itulah yang diajarkan oleh forum CD Meeting di network masing-masing.

3. Bahwa subtitle untuk entry TV adalah sesuatu yang amat penting, mengingat komposisi Juri yang sangat beragam bahasanya, dan jangan pernah mengagungkan bahwa Bahasa Indonesia akan gampang dimengerti di sana.

4. Bahwa bahasa visual dan simplicity adalah kesempatan untuk mengambil hati Juri, meskipun sewaktu saya menjadi Juri di sana sempat ada komentar : “I miss a long copy ad”, yang hanya disambut dengan senyum Juri-Juri lainnya.
Celakanya ketika hal itu dilempar di milist, timbullah dikotomi antara copy based dan art based, sebuah polemik yang memboroskan enerji.

Semenjak komunikasi berubah tidak lagi massal dan ide dikembangkan dari potensi medianya, maka Adfest menjadi lebih menarik.
Eksplorasi contact point sebagai media menjadi seru dan menggelitik, membuka perspektif pemikiran penggunaan media-media baru seiring perkembangan bisnis media itu sendiri.
Aktifasi brand menyusul sebagai fokus pembahasan di Adfest berikutnya, meninggalkan media konvensional.
Print sesekali masih menakjubkan, TV belum kehilangan pesonanya, namun lihatlah Adidas dengan Flying Soccernya mendadak menimbulkan efek “Blar!” yang mengejutkan.

Efek “Blar!” itu jugalah yang mewarnai beberapa entries Adfest 2007 bulan Maret lalu dan seketika membuat print/poster menjadi sangat dingin dan tidak menarik.
Memenangkan metal dari single print tahun ini saya rasa bukan sesuatu yang sangat aspiratif – meskipun toh tim saya juga tidak memenangkan apapun – dibanding misalnya dengan apa yang dilakukan oleh batere Panasonic dengan enerji pesawat terbangnya.
Kebesaran sebuah kampanye tidak lagi dilihat dari ‘piece by piece’ penggunaan media, tetapi dilihat dari totalitas cara mewujudkannya menjadi sebuah grand event, grand activation.
Passion kreatif tidak lagi dari ide seorang art director bersama partner copy writernya dalam sebuah single print ad, tetapi pada gagasan merealisasikan menjadi sebuah proyek besar yang punya gaung membuat sebuah perubahan yang tidak kalah besarnya dengan proyek itu sendiri.
Proyek yang akhirnya sangat tergantung pada passion seorang Project Leader untuk direalisasikan sebelum keburu basi tidak tereksekusi.
Proyek yang membukakan perspektif baru tentang sebuah pola pemikiran dalam mengkomunikasikan produk yang jauh lebih advance dibanding dengan mengiklankannya dengan cara-cara lama.
Situs seperti YouTube sekarang menjadi situs tempat mengintip bagaimana merealisasikan sebuah proyek besar, dibanding situs iklan-iklan cetak yang di forum Adfest Maret lalu menjadi ajang duplikasi sekian banyak ide yang cenderung membosankan.
Kekecewaan saya berujung pada kategori radio (selain TV yang tidak begitu hot, dan kekalahan saya untuk yang kesekian kali, tentunya!), di mana dan entah kenapa radio yang semula saya berharap bisa unik karena diversifikasi bahasa, ternyata tidak lebih dari pembacaan skrip yang datar dan melupakan kaidah-kaidah audio yang dimilikinya.
Menang di kategori radio Adfest tahun ini sungguh tidak lebih membanggakan dibanding menang di forum lokal.

Seandainya teman saya yang dulu menggerutu hadir di bulan Maret lalu, mungkin dia akan saya seret ke restoran India “Alibaba” di pinggir jalan daripada membanjiri gala dinner Adfest yang terhormat dengan sumpah serapah yang tidak jelas. Paling tidak di restoran “Alibaba” bisa menikmati chicken masala yang enak dengan segelas besar bir untuk mendinginkan kepala masing-masing.


Gandhi Suryoto, untuk Addiction

No comments: