Monday, September 26, 2011

Coffee is Universal Language – Americano at the Junction


Mana yang lebih penting? Shopping list atau shooting list? Saya lebih memprioritaskan yang kedua. So what? Nothing.
Paling tidak saya melatih diri untuk tahu apa yang saya lakukan. Terhadap brand, terhadap venue, terhadap equipment, terhadap uang yang saya miliki. Semacam tanggung jawab terhadap brand lah. Berlebihan mungkin…
Dalam sebuah kesempatan baru-baru ini ke Milan, kami diceburkan oleh rombongan ke sebuah mall di dekat perbatasan Italy-Switzerland.
Mungkin aneh kedengarannya bagi orang lain bahwa di negara ‘branded’ itu yang terpikirkan di benak saya bukan merek-merek apparel. Dan ketika rombongan menyerbu toko-toko multibranded itu, seketika saya merasa sendirian. Sesuatu yang memerdekakan. Worldwide freedom, halah…
Lama menunggu rombongan berkumpul, saya celingukan ‘nothing to do’ sebelum akhirnya menemukan apa yang saya cari, kedai kopi di pojok perempatan jalan. Di sanalah saya menghabiskan cup kedua (di pas-pasin biar sama seperti nama blog ini) sambil mengamati apa yang terjadi di seputar saya. Bagi saya ini jauh lebih mengasikkan daripada menenteng tas besar-besar dengan logo-logo pakaian internasional yang belum tentu dipakai pas dengan kondisi kulit gelap saya. Bagi saya, sebuah brand kalau tidak mampu memberi added value konsumennya, tidak perlu dibeli. Sepotong jas Armani mungkin bisa menambah saya sedikit terlihat mahal, namun apalah artinya kalau saya memakainya cuma kalau ada kondangan – yang notabene tidak mungkin saya pakai di setiap kondangan, nanti dikira saya tidak punya jas yang lain. Jaket kulit dan winter coat yang gemerlap ditenteng-tenteng dalam tas belanjaan yang super besar (indikasi fashion show dalam bentuk lain – menenteng branded shopping bags), padahal di Jakarta hujan saja tidak pernah. Ealaah…

Dan pada saat saya menyeruput kopi saya, saya merasa benar. Ini adalah ritual kopi Italy, dan di sinilah Howard Schultz menemukan romantika kopi sebelum dia mengadopsinya ke Starbucks. Paling tidak saya merasa minum kopi dengan sebuah konsep. Tanpa harus menghabiskan uang banyak.

Uang, siang itu menjadi sesuatu yang ingin saya adu dengan kopi dalam skala universalitasnya. Bukan semata-mata kemampuan lokalitasnya, seperti membeli mantel bulu untuk konsumen negeri tropis, atau sepatu racing untuk konsumen yang tidak pernah nyetir mobil. Money can buy anything. But there’s something…something that you can’t buy with your money.
That ‘something’ is inner discussion whilst you sip a cup of coffee.
That ‘something’ enriches quality of mind.

Saya lantas ingat kalimat bijak Leo Burnett dalam buku kecilnya “100 Wisdoms of Leo Burnett” di chapter agak belakang mengenai ‘when you may take my name of the door’. It’s the time when creativity being abused by money, is the time when you may take my name of the door. Lebih lanjut dia (yang notabene adalah copy based) bilang bahwa ketika copywriter dan art director mulai kehilangan passion dan semata-mata mengejar keuntungan financial, saat itulah dia sebagai copywriter rela namanya dicopot dari pintu dan mempersilahkan mengganti dengan nama siapapun yang lebih cocok. Dan karena money pulalah saya memutuskan untuk memisahkan diri dari rombongan yang masih gencar mengaduk-aduk isi toko di Duomo Point, menunggu hari gelap tanpa satupun shopping bag di tangan saya. Alasan saya sangat simple. Ketika matahari terbenam, mendadak saya melihat eksotika tempat itu. Lebih dari sekedar eksotika merek-merek yang dipajang sepanjang koridor Duomo Point. Lebih dari hiruk pikuk plaza dan lalu lalang shopping bags besar-besar. Saya mengambil kamera dan membiarkan toko-toko tutup, karena dari sana aura yang sebenarnya dari Duomo Point di Milan baru keluar.
Sembari duduk di pojok katedral dengan satu cone gelato, saya preview kamera saya, shooting list saya.

Saya hanya ingin memastikan di file kamera saya bahwa money bukan berhala buat saya.

1 comment:

Totot said...

Kalau gak perlu, duitnya dikasih ke aku aja dong. Eh, welkambek, Tuan. Ngeblog bukan tren sesa(a)t kan? :)