Thursday, July 19, 2007

Kitsch Cam – Sugar? One or two?

Beberapa bulan belakangan ini saya semakin heran dengan pemandangan di seputar saya. Siang-siang jam makan banyak yang menghilang ke toko kamera. Bergantian mereka membelanjakan 10-20 juta rupiah untuk sebuah kamera digital, hanya karena “teman sebelah sudah punya seri terbaru”.
Ah, ternyata saya salah.
Gejala seperti ini ternyata banyak terjadi juga di kantor teman-teman yang lain, dan di kantor temannya teman-teman yang lain. Menyerang seperti wabah, menghidupi toko-toko kamera yang melayaninya sampai seperti restoran cepat saji – dibikin paket harga hemat dengan lensa standar atau body only yang cenderung membingungkan mereka yang sebenarnya duitnya tanggung.
Tapi mungkin yang penting kan menenteng kamera kemana-mana, bikin klub dadakan atau ikut kursus-kursus instant (yang membuatkan bisnis baru buat pengursus) tentang bagaimana mengukur cahaya dan exposure.
Euphoria….
Berlomba-lomba ikut lomba atau berburu bareng memotreti perempuan setengah, tigaperempat, lima perenam atau seratus persen telanjang dengan dalih berkesenian. Ini modus operandi lama!
Mungkin ini yang dulu disebut Pak Umar Kayam sebagai ‘kitsch’, seni yang dikemas. Dipaket-paketkan, dijual eceran atau dipamerkan dengan upacara-upacara populer.
Yang mengenaskan, seorang teman di kantor lain nggak boleh ikutan hunting karena kameranya cuma pocket kecil Canon IXUS. Pokoknya harus SLR yang lensa yang panjang-panjang nyeruduk sana-sini. Hadoooh…
Ada lagi kubu-kubu nggak penting, pemakai Nikon dan pemakai Canon bersitegang saling mengunggulkan barang masing-masing. Hah, ‘barang masing-masing’?
Nggak penting banget deh pokoknya.

Seperti beberapa tahun lalu, gejala yang lain juga pernah terjadi.
Ada kelompok tertentu yang kemana-mana membawa stick golf di bagasi mobilnya, atau paling tidak membuat gaya berdiri yang berbeda dengan seolah menggenggam grip dengan benar, swing dan bing-bang!
“Driving yuk…”
Whooaa… gayamu, jancuk!
Ternyata belum berani turun ke green.
Ternyata masih pleyat-pleyot belajar mukul (atau menggengam?) yang benar to?
“Asu tenan. Kemlinthi !” kata sesama teman sedaerah asal –yang belakangan saya tahu ternyata dia ikut-ikutan juga.


Untung saya nggak main golf sehingga nggak bisa kemlinthi.
Untung saya cuma main kamera untuk menangkap obyek yang menurut saya menarik untuk dimasukkan ke dalam framing, diekspos, diedit, sebagai perpanjangan naluri berkesenian kecil-kecilan. Obyek yang saya terjemahkan sebagai texture dan gesture, karakter dan komposisi, gelap dan terang, kemeriahan warna dan kepucatan sifat. Tidak lebih dan tidak kurang.
Kamera yang cuma saya surukkan di ransel dan baru terpakai setelah sekian lama mengamati obyek dengan mata telanjang.
Mencoba membuat batu yang tidak menarik menjadi lebih dari sekedar batu. Mencoba menangkap isi hati penjual pioh (daging penyu) di Petak Sembilan setelah nanti dagangannya habis. Mencoba menangkap jatuhnya bayangan pada kaki pilar sambil membayangkan seolah-olah diri saya berada di Austria sana, atau menggaris bayangan jendela yang terabaikan dengan memberi kontras warna yang sebenarnya sudah diberikan di sana. Things like that lah… Leica anyone?

12 comments:

Anonymous said...

agak wagu si....
Ujung2 nya iklan kamera juga...

..very smooth...
Hidup wagu...

Anonymous said...

edan Leica!

Anonymous said...

Edan Leika gimana???
ini kan wagu...
Kamu pendukung nikon jangan menjilat ya...

id nya nggak jelas lagi... ggrrrrrr....

godote said...

wah aku rawani macem2..
soale mung wis tau duwe replicane :P

Anonymous said...

Tetep milih Canon AE-1 karo Nikon FM-2 dab. Anane je.

rangga said...

pemakai iXus gak boleh ikut? semena2 sekali!

mister::G said...

aku juga pakai ixus. ixus politik... itu kan kamu yang bilang...

Anonymous said...

kemlinthi tenan iki!
untung tukune leica..

Stevie Sulaiman said...

Jarene, yen mangan kudu sing leica :-))

mister::G said...

iki kok boso jowo kabeh yo....:D

Unknown said...

leica opo le' wati?

Anonymous said...

mas, coba lomo lca..
pinjem punya ku dulu gpp..